Aceh Dalam Sejarah
Pada zaman Aceh berjaya Sultan Iskandar Muda Meukuta Perkasa Alam, Aceh merupakan negeri yang amat kaya dan makmur. Menurut seorang penjelajah asal Perancis yang tiba pada masa kejayaan Aceh di zaman tersebut, kekuasaan Aceh mencapai pesisir barat Minangkabau. Kekuasaan Aceh pula meliputi hingga Perak. Kesultanan Aceh telah menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di dunia Barat pada abad ke-16, termasuk Inggris, Ottoman, dan Belanda. Kesultanan Aceh terlibat perebutan kekuasaan yang berkepanjangan sejak awal abad ke-16, pertama dengan , lalu sejak abad ke-18 dengan Britania Raya (Inggris) dan Belanda. Pada akhir abad ke-18, Aceh terpaksa menyerahkan wilayahnya di Kedah dan Pulau Pinang di Semenanjung Melayu kepada Britania Raya. Pada tahun 1824, Persetujuan Britania-Belanda ditandatangani, di mana Britania menyerahkan wilayahnya di kepada Belanda. Pihak Britania mengklaim bahwa Aceh adalah koloni mereka, meskipun hal ini tidak benar. Pada tahun 1871, Britania membiarkan Belanda untuk menjajah Aceh, kemungkinan untuk mencegah Perancis dari mendapatkan kekuasaan di kawasan tersebut.
Sultan Aceh
1496-1528 Sultan Ali Mughayat Syah. Ayahanda daripada:
1528-1537 Sultan Salahuddin. Kakanda daripada :
1537-1568 Sultan Alauddin al Qahhar.Ayahanda daripada:
1568-1575 Sultan Husain Ali Riayat Syah. Ayahanda daripada:
1575 Sultan Muda
1575-1576 Sultan Sri Alam. ananda daripada Alauddin al Qahhar
1576-1577 Sultan Zainal Abidin
1576-1577. Cucu daripada Alauddin al Qahhar
1577-1589 Sultan Alauddin Mansur Syah Ibni Almarhum Sultan Mansur Syah I (Sultan Perak
1549-1577. Kakanda Sultan Ahmad Tajuddin Syah, Sultan Perak
1589-1596 Sultan Buyong
1596-1604 Sultan Alauddin Riayat Syah Sayyid al-Mukammil. Sultan Ali Mughayat Syah dan Ayahanda daripada:
1604-1607 Sultan Ali Riayat syah
1590-1627 Desember 1636 Sultan Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam. Cucu (dari anak perempuan) Sultan Alauddin Riayat Syah
1636-1641 Iskandar Thani Alauddin Mughayat Syah. Anak Sultan Pahang, Ahmad Syah II
1641-1675 Sri Ratu Safiatuddin Tajul Alam. Putri Iskandar Muda Johan Pahlawan Meukuta Alam dan janda Sultan Iskandar Thani, Alauddin Mughayat Syah
1675-1678 Sri Ratu Naqiatuddin Nurul Alam Menunjuk Hakim Setiaila untuk Pimpinan di Tanoeh Daya
1726 Sultan Jauhar ul Alam Aminuddin
1726-1727 Sultan Syamsul Alam
1727-1735 Sultan Alauddin Ahmad Syah
1735-1760 Sultan Alauddin Johan Syah
1750-1781 Sultan Mahmud Syah
1764-1785 Sultan Badruddin
1775-1781 Sultan Sulaiman Syah
1781-1795 Alauddin Muhammad Daud Syah
1795-1815 dan 1818-1824 Sultan Alauddin Jauhar ul Alam
1815-1818 Sultan Syarif Saif ul Alam
1824-1838 Sultan Muhammad Syah
1857-1870 Sultan Mansur Syah
870-1874 Sultan Mahmud Syah
1874-1903 Sultan Muhammad Daud Syah
Perang Aceh dimulai sejak Belanda menyatakan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873 setelah melakukan beberapa ancaman diplomatik, namun tidak berhasil merebut wilayah yang besar. Perang kembali berkobar pada tahun 1883, namun lagi-lagi gagal, dan pada 1892 dan 1893, pihak Belanda menganggap bahwa mereka telah gagal merebut Aceh. Dr. Snouck Hurgronje, seorang ahli Islam dari Universitas Leiden yang telah berhasil mendapatkan kepercayaan dari banyak pemimpin Aceh, kemudian memberikan saran kepada Belanda agar serangan mereka diarahkan kepada para ulama, bukan kepada sultan. Saran ini ternyata berhasil. Pada tahun 1898, J.B. van Heutsz dinyatakan sebagai gubernur Aceh, dan bersama letnannya, Hendricus Colijn, merebut sebagian besar Aceh. Sultan M. Dawud akhirnya meyerahkan diri kepada Belanda pada tahun 1903 setelah dua istrinya, anak serta ibundanya terlebih dahulu ditangkap oleh Belanda. Kesultanan Aceh akhirnya jatuh seluruhnya pada tahun 1904. Saat itu, hampir seluruh Aceh telah direbut Belanda. Salah satu catatan penting pada Perang Aceh adalah tewasnya empat jenderal Belanda, yaitu Mayor Jenderal J.H.R Kohler, Mayor Jenderal J.L.J.H. Pel, Demmeni dan Jenderal J.J.K. De Moulin. Tewasnya empat jenderal Belanda merupakan peristiwa satu-satunya yang pernah dialami Belanda dalam sejarah perjalanan kerajaan tersebut dalam menyerang wilayah lainnya.
Bangkitnya nasionalisme
Sementara pada masa kekuasaan Belanda, bangsa Aceh mulai mengadakan kerjasama dengan wilayah-wilayah lain di Indonesia dan terlibat dalam berbagai gerakan nasionalis dan politik. Aceh kian hari kian terlibat dalam gerakan nasionalis Indonesia Saat Volksraad (parlemen) dibentuk, Teuku Nyak Arif terpilih sebagai wakil pertama dari Aceh. (Nyak Arif lalu dilantik sebagai gubernur Aceh oleh gubernur pertama, Moehammad Hasan). Saat Jepang mulai mengobarkan perang untuk mengusir kolonialis Eropa dari tokoh-tokoh pejuang Aceh mengirim utusan ke pemimpin perang Jepang untuk membantu usaha mengusir Belanda dari Aceh. Negosiasi dimulai di tahun 1940. Setelah beberapa rencana pendaratan dibatalkan, akhirnya pada 9 Februari 1942 kekuatan militer Jepang mendarat di wilayah Ujong Batee, Aceh Besar.
Kedatangan mereka disambut oleh tokoh-tokoh pejuang Aceh dan masyarakat umum. Masuknya Jepang ke Aceh membuat Belanda terusir secara permanen dari tanah Aceh. Awalnya Jepang bersikap baik dan hormat kepada masyarakat dan tokoh-tokoh Aceh, dan menghormati kepercayaan dan adat istiadat Aceh yang bernafaskan Islam. Rakyat pun tidak segan untuk membantu dan ikut serta dalam program-program pembangunan Jepang. Namun ketika keadaan sudah membaik, pelecehan terhadap masyarakat Aceh khususnya kaum perempuan mulai dilakukan oleh personil tentara Jepang. Rakyat Aceh yang beragama Islam pun mulai diperintahkan untuk membungkuk ke arah matahari terbit di waktu pagi, sebuah perilaku yang sangat bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu pecahlah perlawanan rakyat Aceh terhadap Jepang di seluruh daerah Aceh. contoh yang paling terkenal adalah perlawanan yang dipimpin oleh Teungku Abdul Jalil, seorang ulama dari daerah Bayu, dekat Lhokseumawe.
Suku bangsa
Provinsi ACEH terdiri dari 10 suku asli, yaitu Suku Aceh, Suku Gayo, Suku Alas, Suku Aneuk Jamee, Suku Melayu Tamiang, Suku Kluet, Suku Devayan, Suku Sigulai, Suku Haloban dan Suku Julu. Suku Aceh tersebar terutama di Kota Sabang, Kota Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Utara, Kota Lhokseumawe, Kota Langsa, Aceh Timur, Aceh Tamiang, Aceh Jaya, Aceh Barat, Nagan Raya, Aceh Barat Daya, dan Aceh Selatan. Di samping itu banyak pula keturunan bangsa asing di tanah Aceh, bangsa Arab dan India dikenal erat hubungannya pasca penyebaran Agama Islam di tanah Aceh. Bangsa Arab yang datang ke Aceh banyak yang berasal dari provinsi Hadramaut (Negeri Yaman), dibuktikan dengan marga-marga mereka Al Aydrus, Al Habsyi, Al Attas, Al Kathiri, Badjubier, Sungkar, Bawazier dan lain lain, yang semuanya merupakan marga marga bangsa Arab asal Yaman. Mereka datang sebagai ulama dan berdagang. Saat ini banyak dari mereka yang sudah kawin campur dengan penduduk asli Aceh, dan menghilangkan nama marganya. Sedangkan bangsa India kebanyakan dari Gujarat dan Tamil. Dapat dibuktikan dengan penampilan wajah bangsa Aceh, serta variasi makanan (kari), dan juga warisan kebudayaan Hindu tua (nama nama desa yang diambil dari bahasa India contoh: Indra Puri). Keturunan dapat ditemukan tersebar di seluruh Aceh. Karena letak geografis yang berdekatan maka keturunan cukup dominan di Aceh. Pedagang pedagang Tiongkok juga pernah memiliki hubungan yang erat dengan bangsa Aceh, dibuktikan dengan kedatangan Laksamana asal Tiongkok Cheng Ho, yang pernah singgah dan menghadiahi Aceh dengan sebuah lonceng besar, yang sekarang dikenal dengan nama Lonceng Cakra Donya, tersimpan di Banda Aceh. Semenjak saat itu hubungan dagang antara Aceh dan Tiongkok cukup mesra, dan pelaut pelaut Tiongkok pun menjadikan Aceh sebagai pelabuhan transit utama sebelum melanjutkan pelayarannya ke Eropa. Selain itu juga banyak keturunan bangsa Persia (Iran / Afghan) dan Turki, mereka pernah datang atas undangan Kerajaan Aceh untuk menjadi ulama, pedagang senjata, pelatih prajurit dan serdadu perang kerajaan Aceh, dan saat ini keturunan keturunan mereka kebanyakan tersebar di wilayah Aceh Besar. Hingga saat ini bangsa Aceh sangat menyukai nama-nama warisan Persia dan Turki. Bahkan sebutan Banda, dalam nama kota Banda Aceh pun adalah warisan bangsa (Banda / Bandar arti: Pelabuhan).
Di samping itu ada pula keturunan bangsa Portugis, di wilayah pasesisir pasiedaya (pesisir barat Aceh). Mereka adalah keturunan dari pelaut-pelaut Portugis di bawah pimpinan Nakhoda Kapten Pinto, yang berlayar hendak menuju Malaka (Malaysia), dan sempat singgah dan berdagang di wilayah pasiedaya, dan sebagian besar di antara mereka tetap tinggal dan menetap di Lamno. Sejarah mencatat peristiwa ini terjadi antara tahun 1492-1511, pada saat itu wilayah pasiedaya di bawah kekuasaan kerajaan kecil di nanggroe daya, pimpinan Raja Mereuhoem Daya. Hingga saat ini masih dapat dilihat keturunan mereka yang masih memiliki profil wajah Eropa yang masih kental. Pada saat ini umumnya mereka semua sudah memeluk agama Islam. Sejarah pun mencatat bahwa tokoh-tokoh besar kelas dunia seperti, Ibnu Battuta, serta Kubilai Khan, pernah singgah di tanah Aceh.
Bahasa
Meskipun banyak yang menggunakan bahasa Aceh dalam pergaulan sehari-hari, namun tidak berarti bahwa corak dan ragam bahasa Aceh yang digunakan sama. Tidak saja dari segi dialek yang mungkin berlaku bagi bahasa di daerah lain; bahasa Aceh bisa berbeda dalam pemakaiannya, bahkan untuk kata-kata yang bermakna sama.
Kemungkinan besar hal ini disebabkan banyaknya percampuran bahasa, terutama di daerah pesisir, dengan bahasa daerah lainnya atau juga karena kelestarian bahasa aslinya. Bahasa lain yang digunakan di Acah adalah Bahasa Gayo yang dituturkan di kabupaten Aceh Tengah, Bener Meriah, Gayo Lues dan Serbajadi, Aceh Timur. Bahasa Simeulue dan beberapa bahasa lainnya di kabupaten Simeulue, Melayu Tamiang, Alas, Aneuk Jamee yang merupakan dialek Bahasa Minangkabau dan Bahasa Kluet.
Agama
Mayoritas penduduk di provinsi ACEH memeluk agama Islam. Selain itu provinsi ACEH memiliki keistimewaan dibandingkan dengan provinsi yang lain, karena di provinsi ini Syariat Islam diberlakukan kepada sebagian besar warganya yang menganut agama Islam.
Dalam hal pendidikan, sebenarnya provinsi ini mendapatkan status Istimewa selain dari D.I. Yogyakarta. Namun perkembangan yang ada tidak menunjukkan kesesuaian antara status yang diberikan dengan kenyataannya. Pendidikan di Aceh dapat dikatakan terpuruk. Salah satu yang menyebabkannya adalah konflik yang berkepanjangan, dengan sekian ribu sekolah dan institusi pendidikan lainnya menjadi korban. Pada UAN (Ujian Akhir Nasional) 2005 ada ribuan siswa yang tidak lulus dan terpaksa mengikuti ujian ulang. Aceh juga memiliki Sejumlah Perguruan Tinggi Negeri seperti
Universitas Syiah Kuala
IAIN Ar-Raniry
Abulyatama
Universitas Malikussaleh
Politeknik Negeri Lhokseumawe
Pemerintahan Daerah Tingkat II
Wilayah administratif Dati II di ACEH
Sejak tahun 1999, ACEH telah mengalami beberapa pemekaran wilayah hingga sekarang mencapai 4 pemerintahan dan 17 kabupaten sebagai berikut:
Kabupaten Aceh Bara
Kabupaten Aceh Barat Daya
Kabupaten Aceh Besar
Kabupaten Aceh Jaya
Kabupaten Aceh Selatan
Kabupaten Aceh Singkil
Kabupaten Aceh Tamiang
Kabupaten Aceh Tengah
Kabupaten Aceh Tenggara
Kabupaten Aceh Timur
Kabupaten Aceh Utara
Kabupaten Bener Meriah
Kabupaten Bireuen
Kabupaten Gayo Lues
Kabupaten Nagan Raya
Kabupaten Pidie
Kabupaten Simeulue
Banda Aceh
Langsa
Lhokseumawe
Sabang
Kondisi dan sumber daya alam
Kondisi alam Keanekaragaman hayati Sumber daya alam
Minyak Bumi
Gas Alam
Emas
Hutan
Kayu
Kopi
Rempah-rempah
Perikanan
Aceh memiliki sejumlah industri besar di antaranya:
PT Arun
PT PIM
Lafarge Semen Andalas
ExxonMobil
CALTEX
Pertambangan
Pariwisata
Masjid Raya Baiturrahman
Taman Putroe Phang
Pinto Khop
Kuburan Kerkhoff Peucut
Danau Laut Tawar
Danau Aneuk Laot
Benteng Indrapatra
Seni dan Budaya
Sastra
Bustanussalatin
Hikayat Prang Sabi
Hikayat Malem Diwa
Senjata tradisional
Rumah dan Kesenian Tradisional
Rumoh Aceh
Tari Saman
Rapai Geleng
Rateb Meuseukat
Likok Pulo
Ranup Lampuan
Tarek Pukat dari Gayo Tari Bines, dari Gayo<
Pahlawan Pria :
Sultan Iskandar Muda
Teungku Chik Di Tiro
Teuku Umar
Panglima Polem
Teuku Nyak Arif
Teungku Muhammad Daud Beureueh
Pahlawan Perempuan :
Cut Nyak Dhien
Laksamana Malahayati
Pocut Baren
Teungku Fakinah
Bangsa Aceh merupakan bangsa yang gigih dalam mempertahankan kemerdekaannya. Kegigihan perang bangsa Aceh, dapat dilihat dan dibuktikan oleh sejumlah Pahlawan (baik pria maupun wanita), serta bukti-bukti lainnya (sembilan jenderal Belanda tewas dalam perang Aceh, serta kuburan Kerkhoff yang pernah mencatat rekor sebagai kuburan Belanda terluas di luar Negeri Belanda)
Tokoh asal Aceh Kita lihat pula Suku Aceh untuk tokoh-tokoh yang bukan berasal dari provinsi Aceh namun berketurunan Aceh
Sheikh Hamzah al-Fansuri
Sheikh Nuruddin ar-Raniry
Sheikh Nuruddin ar-Raniry
Sheikh Abdurrauf atau lebih terkenal dengan nama Syiah Kuala.
Sultan Alaiddin Ri’ayatsyah atau lebih terkenal dengan nama Po Temeureuhom Masih Di Kenang dengan Adat Sumeuleung
Tun Sri Lanang Ismail al-Asyi
Mr Teuku Mohammad Hassan
Mohamad Kasim Arifin
di himpun dari berbagi sumber untuk dapat mengenang kembali sejarah aceh .
Posting Komentar