Mata Biru
Keluarga Aceh Keturunan Portugis di Lamno
Si mata biru habis sama sekali
Laporan Aboeprijadi Santoso dari Banda Aceh dan Lamno,
Rdio Nederland, 03 Februari 2005
Cut Pudo
Musibah tsunami telah menyapu sebuah kelompok penduduk Aceh berdarah
Portugis yang bermukim di Lamno, pesisir Aceh Barat. Jumlah mereka
yang puluhan keluarga itu, kini tinggal beberapa gelintir saja,
kurang dari 10 jiwa. Perempuan Aceh keturunan Portugis, yang cantik
dan dikenal sebagai "Si Mata Biru", habis sama sekali. Radio
Nederland menemukan dua warga Aceh keturunan Portugis yang tersisa,
Cut Pudo dan Jamaluddin Puteh.
Lamno, 200an kilometer dari Banda Aceh, adalah kota cantik di kaki
gunung dengan pantai yang indah, semacam Beirut di pesisir barat
Aceh. Sekarang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya itu tinggal tanah yang
rata, penuh sampah kayu dan pepohonan. Lamno sampai Calang, adalah
daerah yang paling dahsyat diterpa musibah. Yang tersisa hanya desa
desa di kaki gunung.
Si mata biru
Di tepian pantainya yang luluh lantak, di Kampung Kuala, Kuala Daya,
dan Ujung Moloh itulah pernah tinggal sebagian warga Aceh keturunan
Portugis. Tak ada yang membedakan mereka dari warga Aceh lainnya
dari segi apapun, baik nafkah, agama, bahasa, budaya dan pola
pemukiman, satu bukti integrasi Aceh yang kuat dengan unsur asing.
Orang Aceh pun tak punya istilah khusus bagi mereka. Mereka bukan
kelompok warga atau etnik. Satu satunya ciri khusus warga keturunan
Portugis ini hanyalah sosok fisik mereka. Wajah dan mimiknya mirip
orang Eropa. Selebihnya orang Aceh meromantisir mereka dengan
sebutan "Si Mata Biru", meski sebenarnya mereka bermata coklat.
Cut Pudo, 80 tahun, dulu tinggal di desa Alumi, Lamno. Ajaib, dia
selamat dan sempat ikut pengungsi berjalan kaki menuju Banda Aceh.
Dia sekarang menjalani pengobatan oleh tim medis orthopedik dari
Denmark di di Darussalam, Banda Aceh. Nenek delapan dasawarsa itu
berwajah segar, namun psikologis menderita. Traumatik, bingung,
cemas, tak mampu berbahasa Indonesia, dan tak kuasa lagi mengingat
pengalamannya. Bahkan lupa jati diri, dan mengaku bernama Siti Hawa
dan berbicara secara ngawur:
"Ketika dibawa gelombang saya sadar...."
Lelaki putih
Satu satunya warga Aceh keturunan Portugis yang tersisa di Lamno
adalah seorang bapak, nelayan 40 tahun yang hanya dikenal dengan
sebutan "Gamputeh", artinya, lelaki putih. Tak mudah dia ditemukan,
tapi istilah "Gamputeh" itu membuat orang mengenali dan mengetahui
posisinya. Orangnya dikenal baik hati, bersahaja, ramah, sering
mengajak orang minum kopi, tapi jarang menyebut jati dirinya. Kami
temui dia di Posko Kemanusiaan SMA Lamno, belakang masjid. Inilah
Gamputeh yang nama sebenarnya adalah Jamaluddin Puteh, satu satunya
keturunan Portugis yang tersisa di Lamno:
"Ketika itu saya berada di laut, mancing, dan waktu pulang semuanya
hilang."
Jamaluddin kini tinggal dengan istrinya juga Aceh keturunan
Portugis, mereka kehilangan tiga putrinya. Keturunannya tinggal dua
putranya, Dedi Darmadi di Sabang dan Irwandhy di Banda Aceh. Bersama
Cut Pudo, mereka itulah sisa terakhir keturunan pelaut Portugis. Cut
Pudo alias Siti Hawa masih linglung, lupa ingatan. Hanya ketika kami
pamit, dia sempat berucap jelas, dalam bahasa Aceh:
"Terima kasih, jangan lupa jenguk saya lagi."
Laporan Aboeprijadi Santoso dari Banda Aceh dan Lamno,
Rdio Nederland, 03 Februari 2005
Cut Pudo
Musibah tsunami telah menyapu sebuah kelompok penduduk Aceh berdarah
Portugis yang bermukim di Lamno, pesisir Aceh Barat. Jumlah mereka
yang puluhan keluarga itu, kini tinggal beberapa gelintir saja,
kurang dari 10 jiwa. Perempuan Aceh keturunan Portugis, yang cantik
dan dikenal sebagai "Si Mata Biru", habis sama sekali. Radio
Nederland menemukan dua warga Aceh keturunan Portugis yang tersisa,
Cut Pudo dan Jamaluddin Puteh.
Lamno, 200an kilometer dari Banda Aceh, adalah kota cantik di kaki
gunung dengan pantai yang indah, semacam Beirut di pesisir barat
Aceh. Sekarang, ibukota Kabupaten Aceh Jaya itu tinggal tanah yang
rata, penuh sampah kayu dan pepohonan. Lamno sampai Calang, adalah
daerah yang paling dahsyat diterpa musibah. Yang tersisa hanya desa
desa di kaki gunung.
Si mata biru
Di tepian pantainya yang luluh lantak, di Kampung Kuala, Kuala Daya,
dan Ujung Moloh itulah pernah tinggal sebagian warga Aceh keturunan
Portugis. Tak ada yang membedakan mereka dari warga Aceh lainnya
dari segi apapun, baik nafkah, agama, bahasa, budaya dan pola
pemukiman, satu bukti integrasi Aceh yang kuat dengan unsur asing.
Orang Aceh pun tak punya istilah khusus bagi mereka. Mereka bukan
kelompok warga atau etnik. Satu satunya ciri khusus warga keturunan
Portugis ini hanyalah sosok fisik mereka. Wajah dan mimiknya mirip
orang Eropa. Selebihnya orang Aceh meromantisir mereka dengan
sebutan "Si Mata Biru", meski sebenarnya mereka bermata coklat.
Cut Pudo, 80 tahun, dulu tinggal di desa Alumi, Lamno. Ajaib, dia
selamat dan sempat ikut pengungsi berjalan kaki menuju Banda Aceh.
Dia sekarang menjalani pengobatan oleh tim medis orthopedik dari
Denmark di di Darussalam, Banda Aceh. Nenek delapan dasawarsa itu
berwajah segar, namun psikologis menderita. Traumatik, bingung,
cemas, tak mampu berbahasa Indonesia, dan tak kuasa lagi mengingat
pengalamannya. Bahkan lupa jati diri, dan mengaku bernama Siti Hawa
dan berbicara secara ngawur:
"Ketika dibawa gelombang saya sadar...."
Lelaki putih
Satu satunya warga Aceh keturunan Portugis yang tersisa di Lamno
adalah seorang bapak, nelayan 40 tahun yang hanya dikenal dengan
sebutan "Gamputeh", artinya, lelaki putih. Tak mudah dia ditemukan,
tapi istilah "Gamputeh" itu membuat orang mengenali dan mengetahui
posisinya. Orangnya dikenal baik hati, bersahaja, ramah, sering
mengajak orang minum kopi, tapi jarang menyebut jati dirinya. Kami
temui dia di Posko Kemanusiaan SMA Lamno, belakang masjid. Inilah
Gamputeh yang nama sebenarnya adalah Jamaluddin Puteh, satu satunya
keturunan Portugis yang tersisa di Lamno:
"Ketika itu saya berada di laut, mancing, dan waktu pulang semuanya
hilang."
Jamaluddin kini tinggal dengan istrinya juga Aceh keturunan
Portugis, mereka kehilangan tiga putrinya. Keturunannya tinggal dua
putranya, Dedi Darmadi di Sabang dan Irwandhy di Banda Aceh. Bersama
Cut Pudo, mereka itulah sisa terakhir keturunan pelaut Portugis. Cut
Pudo alias Siti Hawa masih linglung, lupa ingatan. Hanya ketika kami
pamit, dia sempat berucap jelas, dalam bahasa Aceh:
"Terima kasih, jangan lupa jenguk saya lagi."
Via
Mata Biru
Posting Komentar