Lamno Tak Lalu dari Ingatan
MENGERIKAN, memilukan, menggelisahkan. Ah, tidak. Bahkan kata-kata itu pun masih terasa kurang tepat menggambarkan kegalauan hati saat menyaksikan wajah Lamno, Aceh Jaya, sekarang. Hamparan pantai dan deretan tebing di pesisir pantai barat Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)—berjarak sekitar 156 kilometer dari Banda Aceh—seperti dilabur warna cokelat tua bercampur kering darah.
Matahari menjelang rebah di atas Samudra Indonesia, menyebar hangat di selasar landai bertabur pasir putih. Debur ombak besar yang sering diincar para peselancar sebelum tsunami menggila pada 26 Desember masih terdengar sesekali. Tapi kini, debur itu terdengar seperti nafiri kematian yang menciutkan nyali. Lamo, sepotong surga di lembah Geurutee, telah menghilang ke mana entah.
Memasuki Teluk Lambeuso, terlihat KRI Amboina 503 terayun-ayun dilamun ombak. Awak kapal perang itu sedang membongkar bantuan logistik yang ditampung beberapa kapal motor. Kian jauh ke teluk, kian jelas betapa berat nestapa yang menggulung wilayah ini. Sebelum tsunami datang, Lamno dihuni oleh 23.700 penduduk di 48 desa. Kini 22 desa lenyap menuntaskan hidup 8.500 penduduk secara paksa. Hanya desa-desa di kaki Gunung Geurutee yang selamat. Sisa bau anyir mayat masih tercium dari kawasan rawa-rawa yang menghitam. Bangkai perahu nelayan teronggok di banyak tempat.
Menapak ke daratan, bahkan Desa Kuala Daya (arti harfiahnya: muara yang indah) juga musnah. Kampung nelayan di kaki bukit Ujong Seudon itu tak lagi menjadi muara indah yang terkenal sebagai pusat permukiman warga bermata biru keturunan Portugis. Menjorok ke dalam, tak ada lagi rumah yang tegak. Jembatan penghubung Lamno-Meulaboh juga putus. Jalan-jalan pecah, menenggelamkan kenangan (lihat Ke Bukit Mencari Bidadari).
Alat transportasi yang paling memungkinkan hanya helikopter. Tapi tentu tak bisa digunakan secara bebas oleh penduduk. "Beberapa hari lagi, saya akan coba masuk Lamno menumpang helikopter relawan. Saya ingin menengok mamak. Mudah-mudahan bisa," ujar Hajjah Salwati Hasan, 55 tahun, warga kelahiran Lamno yang kehilangan 22 anggota keluarganya.
Saat ini Salwati dan anggota keluarganya yang selamat diboyong oleh menantu mereka, dai kondang Arifin Ilham yang kini populer dengan cara zikirnya itu, untuk tinggal di kawasan Sawangan, Depok. Putri ketiga Salwati, Wahyuni, adalah istri Arifin Ilham.
"Ombak itu datang begitu cepat. Hanya dalam lima menit sudah merendam rumah kami setinggi dua meter," ujar Abuya Djamaluddin Waly, 60 tahun, suami Salwati. Saat bencana itu terjadi, mereka sedang berada di Banda Aceh. Rumah mereka yang berlantai dua terletak sekitar empat kilometer dari bibir pantai. "Sulit dibayangkan kami bisa selamat dari terjangan ombak yang berkecepatan 600 kilometer per jam itu," dia melanjutkan. Dia putra ulama terkenal Aceh, Syekh Muda Waly al-Khalidy, penyebar tarikat Naqsyabandiyah yang namanya ditabalkan pada seruas jalan di ibu kota NAD.
Ketika tsunami menggulung, Abuya sempat naik ke lantai dua bersama istri. Toh dia tak bisa berbuat apa-apa. Listrik padam, telepon putus. Air menggenang selama dua jam sebelum surut dengan cepat. Kepanikan lain muncul, anak bungsu mereka, Wirda Waly, dan seorang kakaknya sedang berada di luar rumah. "Kami tak tahu apa yang terjadi dengan mereka. Kami khawatir sekali." ujar pemimpin Majelis Zikir Al-Waliyyah, Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh, itu. Dia juga berduka karena kehilangan seribu orang jemaah majelis zikirnya.
Sebetulnya, saat ombak mulai naik, Wirda sedang dalam perjalanan pulang ke rumah. "Begitu melihat air menggenang di jalan, Abang segera memutar mobil kembali ke kota," tutur mahasiswa program D3 Jurusan Sekretaris, Universitas Syiah Kuala, yang sedang menunggu wisuda ini, dengan suara tersendat.
KONDISI Wirda seperti menghadirkan kembali citra gadis Lamno yang terkenal itu: perempuan bermata biru. Tubuhnya ramping, kulitnya bening, menampakkan jejak genetis dari kakeknya di pihak ibu yang berdarah Portugis. Hanya, manik matanya berwarna cokelat, bukan biru. Tapi, itu bukan masalah. Sebutan "mata biru" sudah menjadi trade mark bagi warga Lamno keturunan Portugis, entah memang mereka betul-betul bermata biru, atau dengan warna lain (lihat Galias Peringgi di Tanah Rencong). Dan seperti halnya tipikal gadis-gadis Lamno, Wirda yang kini berusia 21 tahun juga pemalu.
Untuk sifat yang satu ini, Hajjah Salwati mengenang saat-saat ia masih remaja di Lamno sebelum menikah dengan Abuya. "Kalau lihat orang asing, lari semua itu gadis Lamno, tak mau ketemu. Kita takut dibawa lari. Tapi setelah jauh, kita ngintip juga, mau tahu seperti apa bentuk mereka," katanya dengan tawa tertahan.
Sifat pemalu Mata Biru ini juga diakui Syamsuddin, Ketua LKMD Gruengno, Kecamatan Sampoi Niet. "Mereka sangat tertutup, dan perempuannya amat pemalu," katanya. Apalagi, jumlah mereka juga sedikit. Abuya Djamaluddin yang pernah menjadi anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (1987-1997) memperkirakan jumlah Mata Biru hanya sekitar sepersepuluh penduduk Lamno. "Susah sekali kalau menemukan yang benar-benar bermata biru sekarang," katanya.
Menurut Kepala Kantor Pos Lamno, M. Husein, keturunan Portugis yang benar-benar bermata biru hanya bisa dijumpai di pedalaman. Tapi jalan ke sana tidak gampang. Selain jauh, dan infrastruktur hancur, juga ada larangan dari Komando Rayon Militer (Koramil) setempat. "Sukarelawan dilarang melampaui radius tiga kilometer dari pusat kecamatan, demi keamanan." ujar Komandan Koramil Lamno, Letnan Ramli Saragih. Ia tak menyebutkan lebih jelas keamanan seperti apa yang dimaksud.
Beberapa warga yang ditemui Tempo di sebuah warung kopi di Jalan Kuburan, Pasar Lamno, mengatakan, selain Kuala Daya sebagai pusat permukiman Mata Biru, komunitas ini tersebar di Desa Ujong Meuloh, Lambeuso, Geu, Bahagia, Teumareum, Gle Jong, Gampong Mukhan, dan Meunayah Rayek. Mereka umumnya bekerja sebagai pelaut, petani, dan sopir. Tapi semua Desa Mata Biru sudah musnah disapu gelombang. "Kalau melihat kehancuran desa mereka, saya perkirakan si Mata Biru tinggal dua ribuan orang. Itu pun tersebar di banyak tempat," ucap Syamsuddin.
Tampaknya ia benar. Wartawan mingguan ini yang berkeliling Pasar Lamno dengan empat sukarelawan hanya melihat seorang pria yang terlihat seperti keturunan Portugis. Tubuhnya jangkung, alis mata tebal dengan sepasang mata elang yang cerlang, rambut ikal, dengan kulit kemerahan. Bulu tangannya serimbun rimba. Gagah sekali. Namun, begitu hendak difoto, lelaki ini langsung menundukkan kepala dan pura-pura sibuk melihat arlojinya.
Menurut Hajjah Salwati, tak semua warga Lamno "bule" suka dengan sebutan si Mata Biru atau si Rambut Pirang. Ada yang menganggapnya sebagai petaka karena terasa dibeda-bedakan dengan saudara serumpun. Sebab, bukan saja mereka tinggal di daerah yang sama selama beratus-ratus tahun, semua aktivitas yang dilakukan penduduk asli pun mereka kerjakan.
Walhasil, agar perbedaan fisik mereka dengan penduduk asli tidak terlihat terlalu mencolok, maka menghitamkan rambut dengan campuran minyak kelapa dan arang sukun, serta menghitamkan mata dengan tetesan ramuan tradisional, menjadi praktek yang banyak dilakukan kaum Mata Biru. "Bahkan sampai beberapa saat sebelum tragedi tsunami, hal seperti itu masih lazim dilakukan," ujar Salwati.
Keunikan lain, kendati berdarah Portugis, seluruh Mata Biru beragama Islam. "Mereka bahkan lebih intens mempelajari agama dibandingkan penduduk asli. Banyak di antara mereka yang menjadi pemimpin pesantren," kata Muhammad Ali, guru sejarah SMU Negeri 8 Banda Aceh asal Lamno. Padahal, belum sampai tiga dekade lalu sebagian masyarakat Aceh masih memandang rendah mereka. "Mereka dianggap keturunan kafir. Sampai-sampai pernah ada seorang ibu yang tidak mau anaknya mengawini gadis Lamno. Bek kalon keu lagak mantong (jangan hanya melihat dari kecantikannya saja)," tutur Yusrizal Ibrahim, anggota DPRD asal Lamno.
Sesungguhnya, bukan hanya orang Portugis yang melanjutkan garis keturunan dan berkembang biak di Lamno, melainkan juga dari Cina, India, Arab, Belanda, hingga Campa. Sedikitnya, ada dua bukti yang mendukung. Pertama ditemukannya mata uang kuno dari berbagai ras itu di Lamno, dan kedua, dengan adanya tiga dialek utama yang digunakan masyarakat Lamno: Aceh, Portugis, dan Campa. Jika, misalnya, orang Aceh asli menyebut kemarin dengan baroe, maka warga keturunan Portugis menyebutnya baree. "Sedangkan keturunan Campa menyebutnya barai," kata Muhammad Ali yang mengaku berdarah Campa.
Kecantikan "Bidadari Lembah Geurutee" mulai terdengar sejak awal 1950-an setelah NAD menjadi bagian republik ini. Kabar tentang adanya "bule lokal" ini segera menyebar seperti magnet yang menarik banyak pendatang. Tapi sebagai wilayah yang menerapkan syariat Islam dengan taat sejak dulu, para pendatang tak bisa dengan mudahnya mencuri hati para inong bermata biru. Mengail cinta di Lamno jadi gampang-gampang susah. Momennya harus tepat dan caranya jangan salah.
Waktu yang paling pas untuk menarik hati para bidadari ini biasanya jatuh berbarengan dengan peringatan hari raya Idul Adha atau Lebaran Haji yang jatuh pada 10 Zulhijjah. Saat itu, masyarakat Lamno menggelar upacara adat Seumeuleueng (baca: Semelung) untuk mensyukuri penabalan Alauddin Riayat Syah sebagai sultan di Negeri Daya, yang sekarang menjadi Lamno. Alauddin sendiri kelak bergelar Po Teumeurehom. Seandainya prosesi tahun ini tetap berlangsung, itulah Seumeuleueng ke-525 dalam sejarah Lamno. Ini saat yang paling tepat untuk "berburu" calon istri.
Di makam Po Teumeurehom yang terletak di bukit Gle Jong ini belasan ribu pengunjung menyemut, berdesakan menaiki 99 anak tangga menuju makam. Para tamu yang dianggap penting atau dihormati secara adat dipersilakan duduk di dalam Jambo. Warga terlibat dengan menyediakan beragam makanan, mulai dari menyumbang kerbau sampai ketan kuning, selain juadah tradisional seperti kuah tuhe (ketan dengan kuah durian). "Biasanya pada acara ini dipilih dua orang pemuda usia 18-19 tahun yang bertubuh bagus, bermuka tampan, berlaku seolah-olah seperti raja dan khatib," ujar Hajjah Salwati.
Setelah raja duduk, dua orang khadam (pengasuh) memasuki Jambo. Acara dilanjutkan dengan sejumlah prosesi adat sebelum ditutup dengan adegan disuleueng-nya (disuapi) raja, yang merupakan rekonstruksi saat kakek Po melakukan hal serupa bagi cucunya yang masih muda sebagai tanda pemberian restu.
Ketika acara berlangsung, inong tari ceudah rupa (gadis cantik rupawan) tak diizinkan berada di sekitar Astaka Diraja, tempat upacara berlangsung. Mereka biasanya bercengkerama dalam kelompok-kelompok kecil, menyusuri pantai sambil berbagi cerita.
Setelah acara adat selesai, seluruh warga berbaur. Di saat itulah biasanya para lajang mulai mengamat-amati gadis Lamno yang hendak dipinang sebagai istri. Bila ada calon yang sesuai di hati, sang jejaka tak bisa langsung mengontak sang bidadari. Ia menitipkan pesan pada kelompok kecil di mana gadis pujaannya berada. Bila beruntung, ia bisa bertemu dengan orang tua si gadis dan menyatakan niatnya untuk menikah. Keriaan ini biasanya berlangsung 3-4 hari sampai 13 Zulhijjah. "Setelah Lebaran Haji berakhir, rata-rata 10 gadis Lamno dipersunting orang luar. Ada juga yang dinikahi Brimob atau TNI," ujar Salwati.
Sumber Majalah Tempo
Posting Komentar