Akhir Kerajaan Aceh 1885 - 1898
Peristiwa Nisero menandakan upaya terakhir dan sungguh - sungguh Inggris untuk mempengaruhi secara lansung perkembangan keadaan di Sumatra Utara. Salah satu dari tiga tokoh dalam peristiwa itu dengan cepat keluar dari gelanggang pertarungan setelah itu, meski baru setelah beberapa waktu kemudian kedua tokoh yang lain menyadari hal itu. Gelanggang itu berlahan - lahan sedang disiapkan untuk konfrontasi akhir dan lansung
Selama lima tahun setelah krisis tahun 1884, pendapat umum Belanda memberi reaksi yang sangat keras menentang masa sepuluh tahun yang lalu yang penuh pertumpahan darah. Jendral yang pertama - tama menghapuskan kesultanan itu, dia sendiri pada akhir sampai pada kesimpulan:"Une nation ne meurt pas de reconnaitre une faute, mais d'y persister" (sebuah bangsa tidak akan mengakui telah berbuat kesalahan, tetapi pasti akan punah bila akan melakukan kesalahan yang sama.) ia menyarakan kepada pemerintahnya agar dapat hendaknya diwujudkan sebuah perjanjian yang adil dengan Sultan Daud dan agar belanda menarik dari aceh. Meski bersipat terbuka pada saran ini, Pemerintah Belanda tidak pernah bersedia untuk mengunrkan diri sepenuhnya. Namun juga semakin jelas bahwa alternatifnya adalah penaklukan Aceh seluruhnya, dan ini akan memakan biaya yang luar biasa besar, dan kana bergelimang darah. ini memutuskan perhatian pada proses yang menyebabkan Belanda memilih Alternatif menaklukkan Aceh, sementara Aceh membuang - buang Waktu selama tahun - tahun terakrir Kemerdekaan masih miliknya .
Aceh Besar, 1885 - 1891
Tiga tujuan utama Sprenger van Eyk di Aceh adalah memangkas pengluaran, memulihkan moral serdadu, dan menghindari kesulitan - kesulitan diplomatik. Cara-cara yang dipilihnya untuk mengwujudkan ketiga tujuan ini adalah concentratie-stelsel (sistem konsentrasi)di Aceh Besar dan tidak campur tangan sama sekali diwilayah Aceh selebihnya. Pada bulan Maret 1885 Demmeni telah meninggal semuapos garis depan tanpa insiden dan membangun apa yang dimaksudkan sebagai wliayah segitiga yang lahan terobos disekitar Kutaraja di setiap sisi sekitar 9 kilometer panjangnya. Rumah-rumah Petak dan menara menara pengawal dibangun di sepanjang sisi segitiga itu, dan dihubungkan dengan jalan trem dan telegraf. di segitiga jalam trem tanah dikosongkan selebat satu kilometer. Pasukan Belanda di dalam segitiga itu bersiap-siap menunggu perkembangan keadaan, tanpa ada kebijakan sama sekali untuk membawa perang itu mendekati akhir.
Di Aceh Besar dan di pantai utara periode bertepatan dengan menguatnya kembali Ulama , di bawah pimpinan penuh inspirasi Teungku Tiro. Para Ulama Aceh selama ini selalu menempati kedudukan yang dihargai barangkali tidak ada duanya dikepulauan it sebagai akibat dari tradisi pendidikan Islam yang kuat di Aceh. tetapi dalam keadaan normal (keadaan yang jarang ditemui di Aceh sejak tahun 1873) hukum agama sebagaimana ditafsiran oleh Ulama tidak tersaingi secara lansung dengan wewenang kepala adat dalam hal mengatur masyarakat. Serangan Belanda mengubah segala-galanya. sebagian besar Uleebalang kehilangan martabat karena bersedia berkompromi dengan musuh yang pada akhirnya menunjukkan kelemahan yang sesungguhnya dengan memundurkan diri pada thun 1885. juga banyak uleebalang yang kehilangan sumber pendapatan tetap karena blokade dan Pemboman oleh Belanda. Kaum Ulama dari sejak awal menentang dengan keras kekuasaan Kafir, tetapi ketika perang terus berkecamul mereka semakin banyak mengecam kegagalan-kegagalan Uleebalang, kegagalan-kegagalan mereka biasanya dikatakan disebabkan oleh perpecahan di antara mereka, keserakahan mereka, dan karena mengabaikan perintah Allah dan Nabi. Persatuan dapat dipertahankan pada masa Habib Abd ar-Rahman berpengaruh, yang mendapat dukungan penuh dari sebagian kaum Ulama. Keputusa Habib Abd ar-Rahman untuk meninggalkan Aceh meninggalkan ruang bagi kepemimpinan ulama kepada pemuka aceh yang tidak suka kompromi . Teungku Tiro khusunya sudah menyusun kekuatan gerilya di Pidie pada tahun 1887. ia kemudian mendirikan markas besar di Keumala, tetapi menggunakan sebagian waktunya berkeliling di pantai Utaradan di Aceh Besar guna menyampaikan kepada khalayak ramai betapa pentingnya perang suci, dan untuk memgumpulkan orang untuk menjadi kaum gerilyanya. Menjelang akhir hayatnya ia mendapatkan wewenang dari ,Chap sikureueng Sultan sebagai Pemimpin agama tertinggi di negeri ini . Meskipun hanya menegaskan sebuah kedudukan yang memang sudah lama dipangkul Chap sikureueng berguna untuk melindungi dari iri hati kaum Uleebalang yang kehilangan pengaruh karena dia di antara kaum Ulama Ulama yang memiliki pengikut setempat yang kuat, tetapi tidak ada yang menandingi Teungku Tiro dalam perannya sebagai Ahli Teori dan ahli perang suci.
Asal Mula Konflik Aceh
Posting Komentar