Aceh Bangkit
Dilihat dari tengeh tengah Indonesia, pada Zaman Pra islam atau jaman modern, Wilayah Sumatra di utara garis katulistiwa tampak sekali penduduk wilayah itu, meski dilihat dari suku bangsa termasukorang Indonesia, hampir tidak tersentuh oleh perdaban besar Sriwijaya dan majapahit, bak sebuah lengan Indonesia yang terjukur kearah india dan barat, Sumatra Utara membangun tradisi sendiri yang unik sebagai jembatan antara dua dunia, namun dari sudut pandang islam, Sumatra Utara selama lima abad adalah titik pusat Kepulauan Indonesia.
Sudut barat Sumtra itu adalah darat pertama tempat perdagangan india dan arab yang berlayar mencari harta ke Cina dan Kepulauan rempah – rempah menginjak kaki. Mereka mendirikan pos perdagangan disitu sejak abad ke-11, dan menjelang abad ke-13 membawa agama islam dan organisasi politik ke beberapa kerajaan – pelabuhan yang sedang tumbuh disitu. Kerajaan pelabuhan terbesar adalah Samudra (kemudian Pasai). Kerajaan Samudra tumbuh demikian pesat pada abad ke-14 sehingga namanya dipakai untuk sebuah pulau itu. Pelabuhan sekarang Lhokseumawe selama 150 tahun adalah pelabuhan paling timur pada rute perdagangan Muslim, pada pusat pengetahuan dan perdagangan yang terkemuka.
Untuk jangka waktu singkat sebelum serangan Portugis, Sumatra Utara dibayang-bayangi oleh malaka sebagai sebuah pusat penting bagi pedagang Muslim di wilayah itu. Namun pasai bertahan sebagai pusat pengetahuan agama islam, dan secara alami menjadi tempat berkumpul pedagang Muslim, setelah malaka jatuh pada tahun 1511. Selain itu pedagang Muslim Sumtra Utara lebih mampu menangkal kekuatan laut baru itu (Portugis), karena kekayaan mereka juga bersumber pada produksi beras, lada, kapur barus dan pinang bukan hanya pada kemampuan menarik orang untuk berdagang di Pelabuhan itu.
Kerajaan-kerajaan di pantai timur yang terpecah belah dengan sangat tajamnya, hanya bersatu bila menghadapi Portugis, Sultan Ali Mughayat Syah dari Aceh sebuah kerajaan di barat laut di ujung pulau dan bukan kerajaan penting pada waktu itu, mempersatukan senua kekuatan anti-Portugis untuk mengusir pendatang baru dari markasnya di Pidie (1521) dan Pasai (1524. Penaklukan ini melibatkan seluruh rakyat dan permanen. Sejak itu daratan pantai utara yang subur, dipersatukan dengan sungai aceh (Aceh Besar bagi orang Eropa Atjeh Proper atau Groot-Atjeh) yang dibatasi oleh bukti-bukti rendah. Orang Pasai dapat dikatakan sebuah suku bangsa tersendiri paling tidak sampai zaman modern, tetapi mereka semua menggunakan bahasa aceh, mengakui Sultan-sultan Aceh dan menganggap diri Orang Aceh. Sampai pertengahan Abad ke-17 sanak saudara sultan ditempatkan pada Kedudukan-kedudukan Penting di Pidie –Pasai, dan Pusat-pusat penting kerajaan Aceh di pantai barat. Pedagang asing Dar-es-Salaam. Peran penting dimainkan Banda Aceh Dar-es-Salaam sebagai jalur Perdagangan Muslim melalui Selat sunda, tidak lagi melalui selat malaka, menarik orang kesitu sehingga Aceh Besar menjadi salah satu Wilayah berpenduduk terpadat di Sumatra, dengan jumlah Penduduk sekitar 300.000 jiwa pada Abad ke-19
Selama satu abad setelah penaklukan-penaklukan yang dilancarkan oleh Sultan Ali Mugayat syah, kekayaan ibukota pelabuhan itu memungkinkan Sultan-sultan berikutnya menundukkan kaum bangsawan yang bergantung pada pertanian sebagai sumber kekayaan mereka. Semua bangsawan diharuskan mendudkung kebijakan kerajaan, yakni mencapai kejayaan yang dilandasi oleh dua Ambisi: mengusir Portugis dari Selat Malaka dan memegang monopoli ekspor hasil produksi Sumtra dan Malaya.
Perang Sabil melawan Portugis di Malaka pecah secara alamiah dari asal – usul Kerajaan Aceh. Dipertahankan selama 120 tahun. Kerajaan Aceh mengaitkan Agama dan patriotisme secara lebih erat dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia (sekarang) Membawa Aceh ke dalam hubungan yang lebih dekat dengan asia Barat. Sultan Ala’ad-din Riayat syah al-Kahar (1537-1571) mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh dengan imbalan berupa bantuan Militer Turki untuk melawan Portugis. Kenang-kenangan dari hubungan singkat ini terus dihidupkan di Aceh oleh bendera Ottoman yang masih dikibarkan oleh para Sultan dan Meriam besar lada secupak yang menjaga dalam (Istana Raja dan pekarangan) di Banda Aceh. Bendera dan Meriam ini dihormati sebagai pemberian Khalifah, lambing pelindung bagi kerajaan bawahannya yang terletk nun jauh di sana
Kekuasaan Kesultanan Aceh di dalam negeri dan di luar negeri mencapai puncaknya di bawah pemerintah Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang cemerlang tetapi keras. Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan pantai Timur sampai ke Asahan di Selatan. Pelayaran penaklukan dilancarkannya jauh sampai kepahang, di pantai Timur semenanjung Malaya, Pedagang Asing harus tunduk kepadanya. Kerajaan kaya raya dan menjadi pusat ilmu pengetahuan tiada tanding di kepulauan itu.
Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh dalam wilayah administrasi yang dinamakan Uleebalang dan Mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang kelana Perancis, bahwa Iskandar Muda menghapus habis gelar bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru Mukim pada awalnya adalah himpunan beberapa gampong untuk mendukung sebuah Mesjid yang dipimpin oleh seorang Imam (bahas aceh Imeum) Uleebalang (cf. bahasa melayu hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa Mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feudal. Pola ini dijumpai di Aceh Besar dan di Negeri-negeri taklukan Aceh yang Penting-penting. Di Pidie ada pemimpin yang memakai gelar mantroe (cf bahasa melayu menteri); ini memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa bangsawan Aceh memperoleh gelar mereka setidak-tidaknya dari masa pemerintahan seorang raja yang sangat kuat.
Meski pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupaka jaman keemasan klasik, yang selalu disebut-sebut oleh orang aceh dari generasi ke generasi, pola kehidupan politik Aceh sebenarnya dibentuk oleh masa kemunduran setelah zaman keemasan itu. Setelah Sultan Iskandar Muda dan Penggantinya mangkat , para pemimpin terkemuka untuk memastikan agar jangan kembali tirani oleh pemerintah pusat, mendudukan empat Raja/Ratu di atas singgasana berturut –turut. Selama masa kekuasan Raja-raja Perempuan itu(1641-1699) kesultana Aceh menciut menjadi sekedar lambang , kekuasaannya memang diakui oleh orang aceh. Namun kekuasan nyata Raja dapat dirasakan hanya di pelabuhan dan ibukota saja. Imeum, Uleebalang, mantroe dan pejabat pemerintah lainnya menjadi kepala wilayah turun temurun yang sekuler. Di aceh besar muncul tiga pederasi bersangkutan diresmikan misalnya, 26 di sisi kanan sungai Aceh, 25 di sis kiri, dan 22 wilayah yang jauh lebih besar dari penggunungan (dengan penduduk terus meninggkat, sehingga pada abad ke-19 ada 36 mukim di situ) ketiga Panglima Sagi itu, yang mulanya di angkat untuk memimpin sagi dalam berperang, dengan cepat berubah menjadi turun – temurun, yang di anggap menduduki tempat khusus sebagai pengawal Kesultanan. Kedudukan ini resmi diakui: Sultan memberi penghargaan kepada Panglima sagi setelah mengangkatnya. Di dua Sagi di dataran rendah, kekuasaan turun-temurun panglima sagi akhirnya tidak lagi mencerminkan kedudukan sebagai pengawal Kesultanan, meski Panglima Polem dari sagi yang lebih kuat di penggunungan selalu merupakan salah satu terkuat di kesultanan. Lama – kelamaan para Uleebalang lain dari Aceh besar juga mendapatkan kedudukan resmi yang terkemuka, dan diikutkan dalam musyawarah tentang pergantian sultan. Pada abad ke-19 di Aceh ada dua belas Uleebalang yang mengangkat dan menurunkan raja – empat dari setiap sagi
Sejak periode ini, tidak ada lagi Sultan yang cukup kuat sehingga ia dipatuhi semua orang. Karena itu, tidakan apa saja baru dapat di ambil hanya persetujuan Uleebalang terkemuka. Namun uleebalang terkenuka menghormati raja ; uleebalang terkuat sekalipun tidak pernah mencoba merebut tahta. Urusan istana dan pelabuhan bukan urusan uleebalang ; setiap uleebalang dapat mengabaikat uleebalang yang lain, kecuali pada saat krisis di dalam negeri atau ada serangandari luar. Kemunduran Kesultanan diikuti oleh hilangnya dengan cepat wilayah-wilayah kekuasaannya diluar. Kekuatan Laut dan kekuatan dagang belanda memecah belah kerajaan aceh untuk selama-lamanya tidak lama setelah sultan Iskandar Muda mangkat. Sejak itu wilayah Aceh berbatas hanya pada wilayah-wilayah yang telah menyerap penuh pengruh budayanya tahun 1641 dan wilayah ini pada dasarnya adalah wilayah pantai utara dan pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di Pantai Barat sampai Barus Selatan
Sumber: anthony reid
Sudut barat Sumtra itu adalah darat pertama tempat perdagangan india dan arab yang berlayar mencari harta ke Cina dan Kepulauan rempah – rempah menginjak kaki. Mereka mendirikan pos perdagangan disitu sejak abad ke-11, dan menjelang abad ke-13 membawa agama islam dan organisasi politik ke beberapa kerajaan – pelabuhan yang sedang tumbuh disitu. Kerajaan pelabuhan terbesar adalah Samudra (kemudian Pasai). Kerajaan Samudra tumbuh demikian pesat pada abad ke-14 sehingga namanya dipakai untuk sebuah pulau itu. Pelabuhan sekarang Lhokseumawe selama 150 tahun adalah pelabuhan paling timur pada rute perdagangan Muslim, pada pusat pengetahuan dan perdagangan yang terkemuka.
Untuk jangka waktu singkat sebelum serangan Portugis, Sumatra Utara dibayang-bayangi oleh malaka sebagai sebuah pusat penting bagi pedagang Muslim di wilayah itu. Namun pasai bertahan sebagai pusat pengetahuan agama islam, dan secara alami menjadi tempat berkumpul pedagang Muslim, setelah malaka jatuh pada tahun 1511. Selain itu pedagang Muslim Sumtra Utara lebih mampu menangkal kekuatan laut baru itu (Portugis), karena kekayaan mereka juga bersumber pada produksi beras, lada, kapur barus dan pinang bukan hanya pada kemampuan menarik orang untuk berdagang di Pelabuhan itu.
Kerajaan-kerajaan di pantai timur yang terpecah belah dengan sangat tajamnya, hanya bersatu bila menghadapi Portugis, Sultan Ali Mughayat Syah dari Aceh sebuah kerajaan di barat laut di ujung pulau dan bukan kerajaan penting pada waktu itu, mempersatukan senua kekuatan anti-Portugis untuk mengusir pendatang baru dari markasnya di Pidie (1521) dan Pasai (1524. Penaklukan ini melibatkan seluruh rakyat dan permanen. Sejak itu daratan pantai utara yang subur, dipersatukan dengan sungai aceh (Aceh Besar bagi orang Eropa Atjeh Proper atau Groot-Atjeh) yang dibatasi oleh bukti-bukti rendah. Orang Pasai dapat dikatakan sebuah suku bangsa tersendiri paling tidak sampai zaman modern, tetapi mereka semua menggunakan bahasa aceh, mengakui Sultan-sultan Aceh dan menganggap diri Orang Aceh. Sampai pertengahan Abad ke-17 sanak saudara sultan ditempatkan pada Kedudukan-kedudukan Penting di Pidie –Pasai, dan Pusat-pusat penting kerajaan Aceh di pantai barat. Pedagang asing Dar-es-Salaam. Peran penting dimainkan Banda Aceh Dar-es-Salaam sebagai jalur Perdagangan Muslim melalui Selat sunda, tidak lagi melalui selat malaka, menarik orang kesitu sehingga Aceh Besar menjadi salah satu Wilayah berpenduduk terpadat di Sumatra, dengan jumlah Penduduk sekitar 300.000 jiwa pada Abad ke-19
Selama satu abad setelah penaklukan-penaklukan yang dilancarkan oleh Sultan Ali Mugayat syah, kekayaan ibukota pelabuhan itu memungkinkan Sultan-sultan berikutnya menundukkan kaum bangsawan yang bergantung pada pertanian sebagai sumber kekayaan mereka. Semua bangsawan diharuskan mendudkung kebijakan kerajaan, yakni mencapai kejayaan yang dilandasi oleh dua Ambisi: mengusir Portugis dari Selat Malaka dan memegang monopoli ekspor hasil produksi Sumtra dan Malaya.
Perang Sabil melawan Portugis di Malaka pecah secara alamiah dari asal – usul Kerajaan Aceh. Dipertahankan selama 120 tahun. Kerajaan Aceh mengaitkan Agama dan patriotisme secara lebih erat dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia (sekarang) Membawa Aceh ke dalam hubungan yang lebih dekat dengan asia Barat. Sultan Ala’ad-din Riayat syah al-Kahar (1537-1571) mengambil langkah resmi mengakui kekuasaan Sultan Turki atas Aceh dengan imbalan berupa bantuan Militer Turki untuk melawan Portugis. Kenang-kenangan dari hubungan singkat ini terus dihidupkan di Aceh oleh bendera Ottoman yang masih dikibarkan oleh para Sultan dan Meriam besar lada secupak yang menjaga dalam (Istana Raja dan pekarangan) di Banda Aceh. Bendera dan Meriam ini dihormati sebagai pemberian Khalifah, lambing pelindung bagi kerajaan bawahannya yang terletk nun jauh di sana
Kekuasaan Kesultanan Aceh di dalam negeri dan di luar negeri mencapai puncaknya di bawah pemerintah Sultan Iskandar Muda (1607-1636) yang cemerlang tetapi keras. Kendali kerajaan terlaksana dengan lancar di semua pelabuhan penting di pantai barat Sumatra dan pantai Timur sampai ke Asahan di Selatan. Pelayaran penaklukan dilancarkannya jauh sampai kepahang, di pantai Timur semenanjung Malaya, Pedagang Asing harus tunduk kepadanya. Kerajaan kaya raya dan menjadi pusat ilmu pengetahuan tiada tanding di kepulauan itu.
Menurut tradisi Aceh, Iskandar Muda membagi wilayah Aceh dalam wilayah administrasi yang dinamakan Uleebalang dan Mukim; ini dipertegas oleh laporan seorang kelana Perancis, bahwa Iskandar Muda menghapus habis gelar bangsawan lama dan menciptakan bangsawan baru Mukim pada awalnya adalah himpunan beberapa gampong untuk mendukung sebuah Mesjid yang dipimpin oleh seorang Imam (bahas aceh Imeum) Uleebalang (cf. bahasa melayu hulubalang) pada awalnya barangkali bawahan utama Sultan, yang dianugerahi Sultan beberapa Mukim, untuk dikelolanya sebagai pemilik feudal. Pola ini dijumpai di Aceh Besar dan di Negeri-negeri taklukan Aceh yang Penting-penting. Di Pidie ada pemimpin yang memakai gelar mantroe (cf bahasa melayu menteri); ini memperkuat pendapat yang mengatakan bahwa bangsawan Aceh memperoleh gelar mereka setidak-tidaknya dari masa pemerintahan seorang raja yang sangat kuat.
Meski pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupaka jaman keemasan klasik, yang selalu disebut-sebut oleh orang aceh dari generasi ke generasi, pola kehidupan politik Aceh sebenarnya dibentuk oleh masa kemunduran setelah zaman keemasan itu. Setelah Sultan Iskandar Muda dan Penggantinya mangkat , para pemimpin terkemuka untuk memastikan agar jangan kembali tirani oleh pemerintah pusat, mendudukan empat Raja/Ratu di atas singgasana berturut –turut. Selama masa kekuasan Raja-raja Perempuan itu(1641-1699) kesultana Aceh menciut menjadi sekedar lambang , kekuasaannya memang diakui oleh orang aceh. Namun kekuasan nyata Raja dapat dirasakan hanya di pelabuhan dan ibukota saja. Imeum, Uleebalang, mantroe dan pejabat pemerintah lainnya menjadi kepala wilayah turun temurun yang sekuler. Di aceh besar muncul tiga pederasi bersangkutan diresmikan misalnya, 26 di sisi kanan sungai Aceh, 25 di sis kiri, dan 22 wilayah yang jauh lebih besar dari penggunungan (dengan penduduk terus meninggkat, sehingga pada abad ke-19 ada 36 mukim di situ) ketiga Panglima Sagi itu, yang mulanya di angkat untuk memimpin sagi dalam berperang, dengan cepat berubah menjadi turun – temurun, yang di anggap menduduki tempat khusus sebagai pengawal Kesultanan. Kedudukan ini resmi diakui: Sultan memberi penghargaan kepada Panglima sagi setelah mengangkatnya. Di dua Sagi di dataran rendah, kekuasaan turun-temurun panglima sagi akhirnya tidak lagi mencerminkan kedudukan sebagai pengawal Kesultanan, meski Panglima Polem dari sagi yang lebih kuat di penggunungan selalu merupakan salah satu terkuat di kesultanan. Lama – kelamaan para Uleebalang lain dari Aceh besar juga mendapatkan kedudukan resmi yang terkemuka, dan diikutkan dalam musyawarah tentang pergantian sultan. Pada abad ke-19 di Aceh ada dua belas Uleebalang yang mengangkat dan menurunkan raja – empat dari setiap sagi
Sejak periode ini, tidak ada lagi Sultan yang cukup kuat sehingga ia dipatuhi semua orang. Karena itu, tidakan apa saja baru dapat di ambil hanya persetujuan Uleebalang terkemuka. Namun uleebalang terkenuka menghormati raja ; uleebalang terkuat sekalipun tidak pernah mencoba merebut tahta. Urusan istana dan pelabuhan bukan urusan uleebalang ; setiap uleebalang dapat mengabaikat uleebalang yang lain, kecuali pada saat krisis di dalam negeri atau ada serangandari luar. Kemunduran Kesultanan diikuti oleh hilangnya dengan cepat wilayah-wilayah kekuasaannya diluar. Kekuatan Laut dan kekuatan dagang belanda memecah belah kerajaan aceh untuk selama-lamanya tidak lama setelah sultan Iskandar Muda mangkat. Sejak itu wilayah Aceh berbatas hanya pada wilayah-wilayah yang telah menyerap penuh pengruh budayanya tahun 1641 dan wilayah ini pada dasarnya adalah wilayah pantai utara dan pelabuhan-pelabuhan yang tersebar di Pantai Barat sampai Barus Selatan
Sumber: anthony reid
Posting Komentar