Atjeh Tempoe Doeloe
Sejarah Aceh Update
Sebut satu wilayah termiskin di Indonesia. Nanggroe Aceh Darussalam jawabannya. Pada 2001, penduduk miskinnya mencapai 1,1 juta jiwa. Setahun kemudian naik menjadi 1,2 juta dan terus melonjak hingga 1,6 juta orang pada 2003. Ini artinya, sekitar 40 persen orang Aceh hidup melarat.
Padahal, di masa pemerintahan Sultan Ali Ibrahim Mughayat Syah pada abad ke-15, Aceh dikenal sebagai negara yang kaya hasil bumi. Kerajaan memerintahkan rakyat untuk menggiatkan sektor pertanian dan melakukan perdagangan dengan bangsa lain. Tergiur kekayaan itu pula, dunia berlomba-lomba melakukan perdagangan dengan Aceh, mulai dari Tiongkok, Arab, India, dan bahkan Amerika Serikat.
Tak heran bila peneliti Universitas Utrecht, Belanda, Karel Steenbrink, mencatat bahwa perselisihan antara Aceh dengan bangsa Barat berawal dari transaksi hasil bumi berupa lada. Di bulan Juni 1599, dua pedagang Belanda, Frederik dan Cornelis de Houtman ingin membayar lada yang dibelinya dari Aceh dengan emas dan perak.
Tapi saking kayanya, Sultan Aceh di masa itu, Ala’adin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil menampik pembayaran tersebut. Sultan ingin ‘imbal dagang’ saja. Lada ditukar dengan dukungan Belanda terhadap Aceh yang tengah berperang melawan Johor. Konkretnya, Aceh butuh kapal laut yang besar dan cepat, ditambah dengan meriam. Bukan apa-apa, kendati memiliki uang, namun barang seperti ini sulit dibeli. Sebab, Kerajaan Belanda sendiri melarang perusahaan-perusahaan dagangnya terlibat dalam kegiatan perang, termasuk suplai logistik.
Menurut Karel dalam tulisannya di TEMPO, Agustus 2003, konflik tentang tata cara pembayaran lada inilah yang menjadi cikal bakal peperangan selama ratusan tahun di Aceh. Konflik yang sudah berbumbu sentimen agama.
Apalagi, sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 sahabat terdekat Aceh adalah Turki, karena banyak orang Turki datang untuk berdagang dan mengajarkan Islam. Begitu dekatnya hubungan ini sampai-sampai keduanya memiliki bendera yang sama, bergambar bulan sabit dan bintang. Keduanya juga sama-sama menerapkan syariah Islam. Ketika Turki berperang melawan Eropa, Kerajaan Aceh turut memihaknya.
Pendek kata, untuk menggambarkan kekayaan Tanah Rencong di masa itu, Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada, Prof Dr Ibrahim Alfian punya catatan yang akurat. “Universitas terkenal di Amerika, Yale University juga dibangun dari hasil keuntungan perdagangan dengan Aceh pada abad ke-17,” katanya.
Ibrahim Alfian sendiri adalah putra Aceh Timur yang sudah puluhan tahun meneliti sejarah leluhurnya. Untuk mengumpulkan dokumen-dokumen sejarah, ia telah melanglang buana ke Belanda, Perancis, Malaysia, serta memeriksa sejumlah dokumen tua. Dari hasil penelitiannya pula, teka-teki tentang peralihan kekuasaan dari sultan kepada anak cucu Cik Di Tiro sedikit terkuak. Sebab, ihwal ini juga menjadi salah satu akar konflik karena pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Hasan Tiro mengklaim sebagai penerus sah kekuasaan di Aceh.
Ceritanya bermula pada pada 1819, saat Kerajaan Inggris dan Kesultanan Aceh menandatangani kerjasama pertahanan. Bagi Inggris, perjanjian itu sangat penting untuk memuluskan langkah mereka menguasai Selat Malaka, jalur perdagangan paling strategis di planet ini. Selain itu, mereka juga berkepentingan ingin menduduki Malaysia, Singapura (Tumasik), dan tempat-tempat strategis lainnya di sebelah utara-timur Selat Malaka.
Sebaliknya, bagi Kerajaan Aceh, kerjasama dengan Inggris menguntungkan secara politik karena negara itu adalah super-power di zamannya. Perjanjian ini juga sebuah kemenangan diplomasi Aceh atas Belanda. Sebab, sejak awal abad ke-18, Kerajaan Aceh, Inggris, dan Belanda saling berlomba menancapkan kukunya di Lautan Malaka. Adapun yang berperan menggalang kerjasama Inggris-Aceh adalah si pembangun Singapura yang tersohor, Sir Stamford Raffles.
Inggris pun menyadari bila kerajaan Aceh tak bisa dianggap enteng. Portugis punya pengalaman pahit berurusan dengan orang Aceh. Dalam usahanya menguasai Semenanjung Malaka pada pertengahan abad ke-15, Portugis berhadapan dengan angkatan perang Aceh yang melawan dengan sengit dan berkesinambungan di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1524-1530), Sultan Salahuddin (1528-1537), Sultan Ala’adin Ri’ayat Syah Al Qahhar (1537-1571), Sultan Ala ad-Din Mansyur Syah (1579-1586), Sultan Ala’adin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1587-1604), hingga mencapai masa keemasan saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Portugis sendiri akhirnya mundur teratur hingga ke tanah Sunda dan Demak setelah menaklukkan Malaka, tanpa Aceh. Aceh sendiri justru memukul balik dengan membantu Pati Unus dari Demak dalam ekspedisi ‘ganyang Portugis’ di Semenanjung Malaka, kendati gagal pada 1513.
Kerajaan Belanda pun semula segan dan sangat menghormati kedaulatan Aceh. Saat berhasil menaklukan Jawa pada 1596, Belanda tak berani menyerang Aceh. Malah hubungan dagang antara Aceh-Belanda terjalin baik. Hubungan ini tertuang dalam Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan pada 30 Maret 1857. Perjanjian tersebut memperkuat komitmen Belanda yang mengakui kedaulatan Aceh. Belanda bahkan terikat Traktat London (1821) yang mengharuskannya menghormati kedaulatan Aceh.
Namun nafsu menguasai Sumatera agaknya terus menggelegak. Mulanya Belanda menguasai Kerajaan Siak dan Deli pada 1858, sebelum akhirnya melirik Malaka dan Aceh. Untuk memuluskan rencananya, diam-diam Belanda melakukan konspirasi dengan Inggris dalam Traktat Sumatera (1971). Isinya, Inggris memberi keleluasaan pada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Sumatera. Dan sebagai imbalannya, Belanda harus menyerahkan salah satu wilayah jajahannya di Afrika yang bernama Gold Coast kepada Inggris.
Sikap Inggris jelas merupakan pengkhianatan. Perang antara Aceh dan Belanda pun pecah sejak 1873. Pasukan Belanda mengerahkan 3.000 tentara di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kohler yang mengerahkan kapal perang Citadel van Antwerpen. Jumlah bala tentara ini merupakan terbesar yang pernah dikumpulkan Belanda di Asia Tenggara.
Antara 26 Maret hingga 23 April 1873 pejuang-pejuang Aceh di bawah Sultan Mahmud Syah mempertahankan garis pantainya dari operasi amfibi Belanda. Jenderal Kohler sendiri berhasil ditangkap dan kemudian dieksekusi. Ini adalah kekalahan Belanda paling memalukan di Asia Tenggara. Sejak itu, Belanda kian memperkuat pasukannya di Aceh.
Lalu apa hubungannya semua ini dengan peralihan kekuasan dari sultan ke leluhur Hasan Tiro?
Setahun setelah Kohler tewas, tepatnya 26 Januari 1874, Sultan Mahmud menyusul. Kerajaan Aceh pun mulai goncang karena putra mahkota, Muhammad Daud Syah, masih kecil. Namun karena tuntutan konstitusi, mau tak mau, kerajaan harus tetap melantik Daud Syah sebagai sultan. Ada yang mengatakan, saat dilantik, umur Daud masih di bawah 10 tahun. Tapi ada pula yang menyebut usianya sudah 12 tahun.
Selama dipimpin Sultan Daud Syah, kerajaan Aceh benar-benar porak poranda. Prof Alfian menyebutnya sebagai keturunan Iskandar Muda yang paling lemah. Dalam kondisi itulah, Teungku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman—ulama kepercayaan kerajaan—mengambilalih pasukan.
Sampai di sini, sejarah Aceh berbuah kontroversi tentang siapa sebenarnya pemimpin Aceh pada masa itu. Sebab ada yang menyebut Sultan Daud Syah sudah tak diakui lagi sebagai raja. Kendali pemerintahan pun praktis beralih ke tangan Tjhik Di Tiro Muhammad Saman.
Namun menurut Prof Alfian, Sultan Daud Syah sama sekali tidak pernah menyerahkan kekuasaannya kepada Tjhik Di Tiro atau keturunannya. Hanya saja, fakta sejarah memang membenarkan Sultan Daud Syah sangat tidak berwibawa sebagai pemimpin.
Selama dipimpin Tjhik Di Tiro, perlawanan rakyat Aceh justru mampu membuat pasukan Belanda kerepotan. Wilayah yang sempat direbut Belanda, berhasil dikuasai kembali oleh pejuang Aceh. Pengaruh Tjhik Di Tiro yang begitu besar membuatnya semakin berani menentang Sultan Daud Syah.
Dalam bukunya De Atjehers, Snouck Hurgronje mengakui, pengaruh Tjhik Di Tiro lebih hebat ketimbang sultan. Tak heran jika kemudian nama Sultan Daud Syah tenggelam seiring dengan sikapnya yang lebih banyak berdiam di persembunyian. Sejak itu, darah biru Iskandar Muda tak lagi menjadi panutan rakyat. Kaum ulama dan pejuang lebih diperhitungkan.
Pengaruh Sultan Daud Syah makin tak berarti setelah pada 1903, ia menyerah kepada Belanda. Ia sempat dipindahkan ke Ambon, kemudian ke Batavia, dan mangkat pada 6 Februari 1939.
Sementara Tjhik Di Tiro memilih tidak menyerah. Setelah kematiannya pun, perlawanan rakyat dipimpin anak cucunya. Keturunan Tiro terakhir yang memimpin perlawanan melawan pasukan Belanda adalah Teungku Maát Di Tiro atau dikenal dengan Teungku Cik Di Tiro dalam khasanah kepahlawanan nasional.
Nah, fakta sejarah ini lah yang menjadi acuan GAM sehingga menyebut Hasan Tiro–cucu Teungku Maat Di Tiro—pantas melanjutkan kepemimpinan kakeknya. “Dengan sistem kesultanan itu, seharusnya Hasan Tiro merupakan Wali Negara Aceh,” kata Yusra, Jurubicara GAM yang tinggal di Denmark dalam sebuah tulisannya. GAM sangat mempercayai sejarah ini berdasarkan surat yang dikeluarkan Kesultanan Aceh kepada keluarga Cik Di Tiro.
Namun Ibrahim Alfian membantah argumen itu. Dokumen kerajaan yang diberikan untuk keturunan Cik Di Tiro, kata Alfian, bukanlah surat pengalihan kekuasaan, melainkan surat permintaan dari pejabat kerajaan untuk keturunan Tiro, agar Aceh menyerah kepada Belanda jika kekuatan sudah tidak memungkinkan. “Sama sekali tidak pernah ada peralihan kekuasaan dari sultan kepada Cik Di Tiro dan keturunannya,” kata Alfian.
Perdebatan ini belum usai hingga kini. GAM sendiri bersikukuh dengan sejarah versi mereka yang mendudukkan Hasan Tiro sebagai Wali Negara Aceh. Namun menurut sosiolog Aceh, Otto Syamsuddin Ishak, surat sultan itu sebenarnya adalah surat perintah pengalihan kekuasaan sementara. “Seperti Supersemar lah, karena situasi sedang darurat. Logikanya, kalau kondisi sudah stabil, ya dikembalikan lagi,” tandasnya.
Entah mana yang benar. Otto sendiri mengaku tak terlalu tertarik memperdebatkan masalah ini. “Yang jelas, sudah ratusan tahun lampau, orang Aceh bersikap terbuka dan bergaul dengan berbagai bangsa di dunia. Aceh itu kampung global. Karena itu, aneh bila ada yang mengkhawatirkan internasionalisasi masalah Aceh,” katanya.
Padahal, di masa pemerintahan Sultan Ali Ibrahim Mughayat Syah pada abad ke-15, Aceh dikenal sebagai negara yang kaya hasil bumi. Kerajaan memerintahkan rakyat untuk menggiatkan sektor pertanian dan melakukan perdagangan dengan bangsa lain. Tergiur kekayaan itu pula, dunia berlomba-lomba melakukan perdagangan dengan Aceh, mulai dari Tiongkok, Arab, India, dan bahkan Amerika Serikat.
Tak heran bila peneliti Universitas Utrecht, Belanda, Karel Steenbrink, mencatat bahwa perselisihan antara Aceh dengan bangsa Barat berawal dari transaksi hasil bumi berupa lada. Di bulan Juni 1599, dua pedagang Belanda, Frederik dan Cornelis de Houtman ingin membayar lada yang dibelinya dari Aceh dengan emas dan perak.
Tapi saking kayanya, Sultan Aceh di masa itu, Ala’adin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil menampik pembayaran tersebut. Sultan ingin ‘imbal dagang’ saja. Lada ditukar dengan dukungan Belanda terhadap Aceh yang tengah berperang melawan Johor. Konkretnya, Aceh butuh kapal laut yang besar dan cepat, ditambah dengan meriam. Bukan apa-apa, kendati memiliki uang, namun barang seperti ini sulit dibeli. Sebab, Kerajaan Belanda sendiri melarang perusahaan-perusahaan dagangnya terlibat dalam kegiatan perang, termasuk suplai logistik.
Menurut Karel dalam tulisannya di TEMPO, Agustus 2003, konflik tentang tata cara pembayaran lada inilah yang menjadi cikal bakal peperangan selama ratusan tahun di Aceh. Konflik yang sudah berbumbu sentimen agama.
Apalagi, sejak abad ke-16 hingga abad ke-17 sahabat terdekat Aceh adalah Turki, karena banyak orang Turki datang untuk berdagang dan mengajarkan Islam. Begitu dekatnya hubungan ini sampai-sampai keduanya memiliki bendera yang sama, bergambar bulan sabit dan bintang. Keduanya juga sama-sama menerapkan syariah Islam. Ketika Turki berperang melawan Eropa, Kerajaan Aceh turut memihaknya.
Pendek kata, untuk menggambarkan kekayaan Tanah Rencong di masa itu, Guru Besar Sejarah Universitas Gajah Mada, Prof Dr Ibrahim Alfian punya catatan yang akurat. “Universitas terkenal di Amerika, Yale University juga dibangun dari hasil keuntungan perdagangan dengan Aceh pada abad ke-17,” katanya.
Ibrahim Alfian sendiri adalah putra Aceh Timur yang sudah puluhan tahun meneliti sejarah leluhurnya. Untuk mengumpulkan dokumen-dokumen sejarah, ia telah melanglang buana ke Belanda, Perancis, Malaysia, serta memeriksa sejumlah dokumen tua. Dari hasil penelitiannya pula, teka-teki tentang peralihan kekuasaan dari sultan kepada anak cucu Cik Di Tiro sedikit terkuak. Sebab, ihwal ini juga menjadi salah satu akar konflik karena pemimpin Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Hasan Tiro mengklaim sebagai penerus sah kekuasaan di Aceh.
Ceritanya bermula pada pada 1819, saat Kerajaan Inggris dan Kesultanan Aceh menandatangani kerjasama pertahanan. Bagi Inggris, perjanjian itu sangat penting untuk memuluskan langkah mereka menguasai Selat Malaka, jalur perdagangan paling strategis di planet ini. Selain itu, mereka juga berkepentingan ingin menduduki Malaysia, Singapura (Tumasik), dan tempat-tempat strategis lainnya di sebelah utara-timur Selat Malaka.
Sebaliknya, bagi Kerajaan Aceh, kerjasama dengan Inggris menguntungkan secara politik karena negara itu adalah super-power di zamannya. Perjanjian ini juga sebuah kemenangan diplomasi Aceh atas Belanda. Sebab, sejak awal abad ke-18, Kerajaan Aceh, Inggris, dan Belanda saling berlomba menancapkan kukunya di Lautan Malaka. Adapun yang berperan menggalang kerjasama Inggris-Aceh adalah si pembangun Singapura yang tersohor, Sir Stamford Raffles.
Inggris pun menyadari bila kerajaan Aceh tak bisa dianggap enteng. Portugis punya pengalaman pahit berurusan dengan orang Aceh. Dalam usahanya menguasai Semenanjung Malaka pada pertengahan abad ke-15, Portugis berhadapan dengan angkatan perang Aceh yang melawan dengan sengit dan berkesinambungan di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah (1524-1530), Sultan Salahuddin (1528-1537), Sultan Ala’adin Ri’ayat Syah Al Qahhar (1537-1571), Sultan Ala ad-Din Mansyur Syah (1579-1586), Sultan Ala’adin Ri’ayat Syah Sayyid al-Mukammil (1587-1604), hingga mencapai masa keemasan saat pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636).
Portugis sendiri akhirnya mundur teratur hingga ke tanah Sunda dan Demak setelah menaklukkan Malaka, tanpa Aceh. Aceh sendiri justru memukul balik dengan membantu Pati Unus dari Demak dalam ekspedisi ‘ganyang Portugis’ di Semenanjung Malaka, kendati gagal pada 1513.
Kerajaan Belanda pun semula segan dan sangat menghormati kedaulatan Aceh. Saat berhasil menaklukan Jawa pada 1596, Belanda tak berani menyerang Aceh. Malah hubungan dagang antara Aceh-Belanda terjalin baik. Hubungan ini tertuang dalam Perjanjian Persahabatan dan Perdagangan pada 30 Maret 1857. Perjanjian tersebut memperkuat komitmen Belanda yang mengakui kedaulatan Aceh. Belanda bahkan terikat Traktat London (1821) yang mengharuskannya menghormati kedaulatan Aceh.
Namun nafsu menguasai Sumatera agaknya terus menggelegak. Mulanya Belanda menguasai Kerajaan Siak dan Deli pada 1858, sebelum akhirnya melirik Malaka dan Aceh. Untuk memuluskan rencananya, diam-diam Belanda melakukan konspirasi dengan Inggris dalam Traktat Sumatera (1971). Isinya, Inggris memberi keleluasaan pada Belanda untuk memperluas kekuasaannya di Sumatera. Dan sebagai imbalannya, Belanda harus menyerahkan salah satu wilayah jajahannya di Afrika yang bernama Gold Coast kepada Inggris.
Sikap Inggris jelas merupakan pengkhianatan. Perang antara Aceh dan Belanda pun pecah sejak 1873. Pasukan Belanda mengerahkan 3.000 tentara di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kohler yang mengerahkan kapal perang Citadel van Antwerpen. Jumlah bala tentara ini merupakan terbesar yang pernah dikumpulkan Belanda di Asia Tenggara.
Antara 26 Maret hingga 23 April 1873 pejuang-pejuang Aceh di bawah Sultan Mahmud Syah mempertahankan garis pantainya dari operasi amfibi Belanda. Jenderal Kohler sendiri berhasil ditangkap dan kemudian dieksekusi. Ini adalah kekalahan Belanda paling memalukan di Asia Tenggara. Sejak itu, Belanda kian memperkuat pasukannya di Aceh.
Lalu apa hubungannya semua ini dengan peralihan kekuasan dari sultan ke leluhur Hasan Tiro?
Setahun setelah Kohler tewas, tepatnya 26 Januari 1874, Sultan Mahmud menyusul. Kerajaan Aceh pun mulai goncang karena putra mahkota, Muhammad Daud Syah, masih kecil. Namun karena tuntutan konstitusi, mau tak mau, kerajaan harus tetap melantik Daud Syah sebagai sultan. Ada yang mengatakan, saat dilantik, umur Daud masih di bawah 10 tahun. Tapi ada pula yang menyebut usianya sudah 12 tahun.
Selama dipimpin Sultan Daud Syah, kerajaan Aceh benar-benar porak poranda. Prof Alfian menyebutnya sebagai keturunan Iskandar Muda yang paling lemah. Dalam kondisi itulah, Teungku Tjhik Di Tiro Muhammad Saman—ulama kepercayaan kerajaan—mengambilalih pasukan.
Sampai di sini, sejarah Aceh berbuah kontroversi tentang siapa sebenarnya pemimpin Aceh pada masa itu. Sebab ada yang menyebut Sultan Daud Syah sudah tak diakui lagi sebagai raja. Kendali pemerintahan pun praktis beralih ke tangan Tjhik Di Tiro Muhammad Saman.
Namun menurut Prof Alfian, Sultan Daud Syah sama sekali tidak pernah menyerahkan kekuasaannya kepada Tjhik Di Tiro atau keturunannya. Hanya saja, fakta sejarah memang membenarkan Sultan Daud Syah sangat tidak berwibawa sebagai pemimpin.
Selama dipimpin Tjhik Di Tiro, perlawanan rakyat Aceh justru mampu membuat pasukan Belanda kerepotan. Wilayah yang sempat direbut Belanda, berhasil dikuasai kembali oleh pejuang Aceh. Pengaruh Tjhik Di Tiro yang begitu besar membuatnya semakin berani menentang Sultan Daud Syah.
Dalam bukunya De Atjehers, Snouck Hurgronje mengakui, pengaruh Tjhik Di Tiro lebih hebat ketimbang sultan. Tak heran jika kemudian nama Sultan Daud Syah tenggelam seiring dengan sikapnya yang lebih banyak berdiam di persembunyian. Sejak itu, darah biru Iskandar Muda tak lagi menjadi panutan rakyat. Kaum ulama dan pejuang lebih diperhitungkan.
Pengaruh Sultan Daud Syah makin tak berarti setelah pada 1903, ia menyerah kepada Belanda. Ia sempat dipindahkan ke Ambon, kemudian ke Batavia, dan mangkat pada 6 Februari 1939.
Sementara Tjhik Di Tiro memilih tidak menyerah. Setelah kematiannya pun, perlawanan rakyat dipimpin anak cucunya. Keturunan Tiro terakhir yang memimpin perlawanan melawan pasukan Belanda adalah Teungku Maát Di Tiro atau dikenal dengan Teungku Cik Di Tiro dalam khasanah kepahlawanan nasional.
Nah, fakta sejarah ini lah yang menjadi acuan GAM sehingga menyebut Hasan Tiro–cucu Teungku Maat Di Tiro—pantas melanjutkan kepemimpinan kakeknya. “Dengan sistem kesultanan itu, seharusnya Hasan Tiro merupakan Wali Negara Aceh,” kata Yusra, Jurubicara GAM yang tinggal di Denmark dalam sebuah tulisannya. GAM sangat mempercayai sejarah ini berdasarkan surat yang dikeluarkan Kesultanan Aceh kepada keluarga Cik Di Tiro.
Namun Ibrahim Alfian membantah argumen itu. Dokumen kerajaan yang diberikan untuk keturunan Cik Di Tiro, kata Alfian, bukanlah surat pengalihan kekuasaan, melainkan surat permintaan dari pejabat kerajaan untuk keturunan Tiro, agar Aceh menyerah kepada Belanda jika kekuatan sudah tidak memungkinkan. “Sama sekali tidak pernah ada peralihan kekuasaan dari sultan kepada Cik Di Tiro dan keturunannya,” kata Alfian.
Perdebatan ini belum usai hingga kini. GAM sendiri bersikukuh dengan sejarah versi mereka yang mendudukkan Hasan Tiro sebagai Wali Negara Aceh. Namun menurut sosiolog Aceh, Otto Syamsuddin Ishak, surat sultan itu sebenarnya adalah surat perintah pengalihan kekuasaan sementara. “Seperti Supersemar lah, karena situasi sedang darurat. Logikanya, kalau kondisi sudah stabil, ya dikembalikan lagi,” tandasnya.
Entah mana yang benar. Otto sendiri mengaku tak terlalu tertarik memperdebatkan masalah ini. “Yang jelas, sudah ratusan tahun lampau, orang Aceh bersikap terbuka dan bergaul dengan berbagai bangsa di dunia. Aceh itu kampung global. Karena itu, aneh bila ada yang mengkhawatirkan internasionalisasi masalah Aceh,” katanya.
Posting Komentar