DAYA
Mata Biru
Pesona Mata Biru Di Lamno Yang Pemalu
SEBELUM ke rumah Wakil Rakyat Mangging malamnya, saya sempat ke pekan Manggeng petangnya. Sambil minum kopi Aceh dengan Din Kepala Pemuda dan kawan-kawannya, disebuah kedai minum...
"Sehari sebelum saya bertolak ke mari dari Malaysia, saya dipertemukan dengan seorang pimpinan Tinggi Aceh, Penasihat Agama Gabenor, yang juga Ahli Dewan Perwakilan Negeri Aceh, di sebuah Hotel di KL. Banyak yang kami bincang dan buat keputusan." Saya mula buka perbincangan. "Antaranya beliau mencadangkan supaya saya menyiapkan sebuah kertas cadangan bertajuk 'Pelancongan Islam Di Aceh'. Jadi, ada ke apa-apa maklumat yang menarik mengenai kesan-kesan Islam di sini?" Saya tanya.
"Oo. Kebetulan besok hari Rabu terakhir bulan Safar. Maka di tepi-tepi pantai di sini, ada majlis makan-makan menyambut 'hari tolak bala'. Di sambut setiap tahun ramai-ramai di tepi pantai, ini dikaitkan dengan Islam." Kata Din. "Dan satu lagi.. Encik tahu tak, kisah anak-anak turunan Aceh hidung mancung bermata biru di Lamno?"
"Ha. Menarik tu!! Tak tahu pula ceritanya." saya potong cakapnya, tak sabar nak tahu.
Mereka pun bercerita. Saya kutip cerita darinya dan kawan-kawan beberapa jam itu. Begini ceritanya...
Aceh, merupakan tanah bekas kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dengan perdagangan dan angkatan perang pada abad-abad ke-8 sampai ke-19. Daerah ini juga dikarniai Tuhan dengan kekayaan dan keindahan alam serta budayanya yang maju. Terapit dan tersepit di antara Samudera Indonesia dan Selat Sumatera sehingga menjadikan pantainya seperti untaian zamrud, indahnya.
Keindahan alamnya yang mempesona hampir dijumpai di setiap jengkal tanah, gunung, dan pantainya. Aceh sebagaimana daerah lainnya, sudah sejak lama dikenal sebagai daerah tujuan wisata atau perlancongan. Misalnya, potensi perlancongan yang masih terpendam ini terletak di kawasan sepanjang 600 km bahagian pantai barat Aceh. Mulai dari atas Geureutee (daerah pegunungan) pantai barat sampai ke bawah, atau dari Desa Daya/Unga sampai Kuala Dhou Legeun (sekitar 85 km dari Banda Aceh arah ke Meulaboh).
Sekarang dikenal sebagai Kecamatan Lamno. Terhampar pantai berpasir putih yang indah berkilauan dan di kaki Geureutee ini. Terdapat sebuah kawasan indah tenang.. Menghimbau kembali kisah silam bekas Kerajaan Islam Daya, yang pernah jaya dan kuat satu masa dulu.
"Bekas Kerajaan Daya ini terdapat beberapa desa.. Apa bekasnya? Kesan penduduknya hingga kini bermata biru.. Berkulit putih.. berambut pirang, hidung mancung dengan tubuh profil Eropah. Mereka adalah warga asli Lamno yang menurut sejarah adalah keturunan bangsa Portugis." Cerita kawan Din kepada kami.
"Sebuah kapal perang Portugis yang kalah perang dengan Belanda di Melaka dan Singapura... Dalam pelayarannya dari Singapura ke negaranya telah mengalami kerosakan dan terdampar di daratan Kerajaan Daya, pada abad ke-15. " Sambungnya. "Raja Daya tidak mahu biarkan kapal itu lari atau bersembunyi tanpa izin di daratan buminya. Tentera Daya menembak kapal itu dengan meriam-merian besar hingga tenggelam!"
Menurutnya lagi, semua awak kapal dan tentara Portugis itu menyerah diri, minta perlindungan darinya sehingga datangnya bantuan kapal Portugis dari negerinya menjemput mereka. Mereka disimpan dalam suatu kawasan berpagar tinggi. Mereka terus menunggu bantuan dan pertolongan dari ibu negaranya hari ke hari tetapi tidak kunjung datang. Akhirnya mereka menyerah bukan sahaja kepada Raja Daya, tetapi juga menyerah diri kepada Allah SWT dengan menyatakan masuk agama Islam.
Begitulah, Islam tidak membiarkan penghambaan dan tawanan sesama manusia, maka mereka pun dibebaskan. Bahkan diajar pula berdiri sendiri. Diajar bertani, diajar bahasa, adat istiadat dan kebudayaan Aceh, dan belajar menjadi orang Aceh. Maka jadilah mereka penduduk Aceh hingga sekarang.
"Kalau melihat warga Lamno, kini bermata biru atau coklat dan berprofil Eropah ini, maka tidak salah kalau seorang ahli sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Muhammad Gade, mengatakan ejaan lama kata "ATJEH" mempunyai makna, A-Arab, T-Tjina, E-Eropah, dan H-Hindustan/India." Sampuk kawan yang lain.
Ya, sebab itulah menurutnya lagi, sebahagian besar rakyat Aceh kini adalah dari keturunan Arab, Cina, Eropah, dan Hindustan. Kerajaan Islam pertama adalah Pase (Pasai) berdiri pada abad ke- 9. Pase yang sekarang tepatnya berada di kawasan pantai Samudera Gedong, sekitar 25 km dari Lhok Seumawe arah ke Medan. Di sini masih dapat disaksikan bekas-bekas bandar besar dan sebuah kompleks makam besar keluarga Sultan Pase bernama Sultan Malikussaleh.
Tanah sekitar Bandar Pase ini hingga sekarang banyak mengandung pecahan keramik kuno Cina mungkin dibawa oleh kapal-kapal Cina, kemudian terlibat perang dengan Kerajaan Pase. Kerajaan Pase, Daya dan Pedir (Pidie), serta Lamuri kemudian bersatu menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1513 di bawah Raja Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Lamuri.
Ketika Kerajaan Pase diperintah Sultan Zainal Abidin (tahun 1511), tentera Portugal sebelum berperang melawan Kerajaan Melaka, sempat menyerang Kerajaan Pase. Menurut Ali Akbar, Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Cabang Kabupaten Aceh Utara, semua peristiwa itu masih dapat dibaca tertulis dalam aksara Babilonia, Arab, dan Turki kuno pada beberapa batu nisan besar Kompleks Makam Sultan Malikussaleh, Raja Pasai (Pase) itu.
"Jadi, perbedaan turunan pesona mata biru di Lamno Aceh Barat ini agak menjolok. Membuat, terutama wanitanya menjadi pemalu. Padahal mereka adalah orang Aceh juga, menggunakan bahasa Aceh yang fasih, dan pemeluk Islam yang taat beribadat. Namun, mereka bukanlah warga yang sombong, sikap malu hanya muncul jika mereka didatangi oleh orang asing yang belum mereka kenal saja!" Kata Din pula.
"Oleh kerana itu, usah nak ajak mereka bercakap, kalau tidak didampingi oleh salah seorang tokoh desanya. Jarang sekali bisa dapat kesempatan untuk memotret wajah-wajah gadis Lamno yang cantik itu. Mereka selalu lari menghindar jika ada yang hendak mengambil fotonya." Tambah kawan Din.
Menurut cerita begitu pemalunya warga Lamno bermata biru turunan Portugis ini, hingga mereka hanya bergaul dalam kelompok mereka atau dengan orang desa yang mereka kenal saja. Perkawinan pun hanya terjadi sesama turunan Portugis. Tetapi, belakangan ini karakter malu itu mulai berubah kerana akhirnya mereka menyedari bahawa mereka adalah orang Aceh juga.
Memang ada juga yang hingga sekarang agak susah sekali mempersunting gadis Lamno ini. Apalagi bila mereka memang wanita-wanita berwajah cantik yang taat sekali beribadat dan kuat agamanya. Kebanyakan mereka belajar di sekolah-sekolah Agama Islam atau Pesantren dan kemudian melanjutkan kuliahnya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Banda Aceh.
Adat istiadat warga Lamno bermata biru ini tak berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Bahasa Aceh mereka, loghat serta pengucapannya sama dengan bahasa Aceh biasa dan berlogat Aceh Barat. Menu makanan, dan makanan khasnya adalah makanan khas Aceh, seperti kari, dan masakan Aceh lainnya. Nasi merupakan makanan utamanya.
Seorang pemilik rumah penginapan di Lamno menceritakan pada hari-hari pasar mingguan, wanita dan lelaki bermata biru ini datang ke Pasar Lamno untuk belanja. "Kalau mau melihat mereka, saat itulah," kata pemilik Losmen Lamno. Tapi jarang yang mau difoto. Maka untuk mendekati pria atau gadis Lamno bermata biru sebaiknya melalui kepala desa atau tokoh-tokoh Desa Daya yang biasanya lebih terbuka dengan masyarakat luar.
Di Desa Daya juga terdapat sebuah bukit kompleks Makam Marhum Daya. Di batu-batu Nisannya terdapat catatan-catatan sejarah yang tertulis dalam aksara Babilonia dan Arab. Kompleks Makam Marhum Daya ini terpelihara dengan baik dan selalu ada yang berziarah dan membaca ayat-ayat suci Al Quran. Juga banyak yang datang kerana tertarik pada sejarah kebesaran Kerajaan Daya.
Ada tradisi yang cukup menarik dalam masyarakat Daya yang juga diikuti oleh warganya yang bermata biru. Iaitu perayaan adat Seumeulueng atau suguhan makana untuk raja dan juga semua rakyat Daya. Perayaan Seumeulueng ini berlangsung pada setiap Hari Raya kedua Idul Adha. Pada hari tersebut, seluruh rakyat Daya dengan dikawal oleh 17 pengawal yang berpakaian unik yakni, jubah hitam. Dengan kepala dan wajah tertutup oleh kerudung (tudung) hitam sampai ke dada bahagian atas. Hanya berlubang pada bahagian mata untuk melihat.
Kalau di KL-Selangor, macam wanita-wanita di Sungai Cincin puluhan tahun yang lalu. Jubah itu bergaris-garis merah, dan pasukan pengawal kerajaan itu semuanya mengenakan pedang. Rakyat yang berjalan dibelakangnya membawa hidangan makanan untuk raja. Tempat upacaranya berada di atas sebuah bukit tidak jauh dari kompleks Makam Marhum Daya. Kerana Raja Daya tidak ada lagi, maka yang menerima hidangan itu adalah salah seorang dari tokoh masyarakat Daya atau boleh juga salah seorang pejabat Kabupaten Aceh Barat yang dihormati rakyatnya.
Hari itu semua warga Daya keluar dari rumahnya dan mereka mengenakan pakaian yang baru yang indah-indah sebagai tanda ikut merayakan hari Seumeulueng. Upacara ini selalu ramai kerana masyarakat Lamno, Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, dan juga dari Banda Aceh, datang untuk menyaksikan acara langka dan unik itu.
Semua kegiatan adat Seumeulueng itu jika dikemas dalam satu paket wisata, ditambah dengan situs Kerajaan Daya yang masih ada, termasuk Kompleks Makam Marhum Daya yang penuh relief beraksara Babylonia, Turki, dan Arab kuno, akan menjadi daya tarik tersendiri. Setiap tahun ada touris dari Eropah, di antaranya ramai dari Portugal yang datang ke Lamno. Mereka datang ke bekas Kerajaan Daya itu untuk menyaksikan orang-orang Aceh bermata biru di sana.
Di antaranya terdapat pengkaji sejarah yang mendapat izin dari Pemda Aceh untuk membuat kajian. Pemda Aceh Barat memang berupaya menghidupkan daerah Lamno sampai Lageun menjadi daerah tujuan wisata (DTW) Aceh Barat. Di Lageun bahkan telah dibangun rumah-rumah panggung bergaya Aceh untuk disewa kepada wisatawan atau pelancung pelbagai negara.
Selain rumah-rumah panggung yang dilengkapi dengan ruang tidur, ruang tamu, dan dapur. Juga di kompleks pantai Lageun itu telah dibangun sebuah restoran besar bergaya Aceh. Pemda Aceh Barat juga berniat mencari investor membangun sebuah hotel berbintang di kawasan pantai antara Kuala Daya sampai Lageun.
Menurut catatan sejarah yang ada di Pusat Dokumentasi Induk Aceh (PDIA), Marco Polo dalam petualangan pelayaran keliling dunianya tahun 1292-1295 pernah singgah di Kerajaan Daya. Marco Polo kemudian menuliskan kebesaran Kerajaan Daya itu dalam bukunya Far East yang menceritakan tentang kebudayaan bangsa Indo Cina, Lamno Aceh, dan orang-orang Banda Maluku Tengah.
Hal ini mengingatkan saya kisah keturunan Portugis di bandar Melaka. Disiapkan satu tempat oleh kerajaan Melaka untuk pelancungan. Bedanya turunan Portugis di Melaka, warna kulitnya sawo matang bagai orang tempatan, budaya dan cara hidupnya. Cuma agamanya Kristian, bahasa egonya, bagaikan orang barat. Waktu saya melawat di sana puluhan tahun lalu, mereka seolah-olah tidak tahu cakap Melayu, termasuk anak-anak mereka yang tidak mahu campur orang Melayu.
Entah mereka keturunan dari orang tempatan yang masuk Kristian, atau dari wanita-wanita simpanan, atau mangsa rogol ke atas rakyat tempatan, sedang masuk mereka dengan kekerasan dan penjajahan. Amat berbeda dengan keturunan anak-anak pesona mata biru Lamno ini, mereka diselamatkan dan ditolong oleh rakyat tempatan. Sehingga mereka menganut agama bangsa tempatan yang dijajah, oleh mereka yang dari bangsa penjajah.
Via
DAYA
3 komentar