Wajah Indo Warga Lamno
Jejak Porto Ratusan Tahun Disikat Tsunami
KEHADIRAN orang Portugis di daerah Aceh, ratusan tahun yang lalu, hingga sekarang masih meninggalkan bekasnya. Tepatnya di daerah Lamno, Kabupaten Aceh Jaya atau kurang lebih 81 km dari Banda Aceh ke sebelah barat. Peninggalan orang Porto (begitu panggilannya-red) di Lamno yakni gadis cantik yang bermata biru, hidung mancung, kulih putih dengan perawakan yang tinggi di atas rata-rata warga Aceh lainnya.
Gadis-gadis cantik itu bak bule tadi adalah keturunan dari pedagang Porto yang singgah di Lamno beberapa abad yang lalu. Di antara pedagang Porto ini ada yang menetap lama di Lamno dan meminang perempuan setempat. Keturunan mereka hingga sekarang masih ada, dengan ciri fisik sebagaimana orang-orang Eropa.
Budayawan Lamno M. Yunus mengemukakan orang Portugis masuk ke Lamno sekira tahun 1492. Waktu itu, di Lamno ada kerajaan kecil yang kaya dengan rempah-rempah, seperti lada dan lainnya. Di bawah Raja Pahlawan Syah (Sultan Alaidin Riayah Syah II) atau lebih dikenal dengan nama Marhum Daya, Kerajaan Lamno berhasil menjalin hubungan perdagangan dengan orang Portugis.
Kerajaan Lamno ini berpusat di Keluang atau Kuala Daya daerah pinggir pantai. Di lokasi itu juga dulu dibangun pelabuhan laut Lamno sebagai tempat berlabuh kapal laut dari luar daerah. Karena memiliki pelabuhan yang memadai dan strategis di Samudra Hindia, perdagangan antara Portugis dengan Lamno berjalan dengan baik. Sistem perdagangan waktu itu masih menggunakan barter. Orang-orang Porto itu membawa lada dan tembakau dari Lamno.
Karena hubungan perdagangan itu, ada di antara pedagang Portugis yang tertarik dengan gadis asal Lamno. Akhirnya di antara mereka ada yang meminang gadis setempat, dan menetap tinggal di daerah Kuala Daya dan di Lamso, masih masuk ke daerah Lamno. Saat itulah secara turun-temurun lahir keturunan orang Portugis di Lamno.
Selain orang Portugis di Lamno, sebenarnya masuk juga pedagang dari Cina, India, Arab, hingga VOC sendiri. Bahkan konon ACEH adalah singkatan dari Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan (India). Maka pada zaman itu, Aceh benar-benar merupakan sebuah daerah kosmopolitan.
Itu dibuktikan dengan ditemukannya mata uang kuno di Lamno. Yunus menunjukkan delapan mata uang kuno, yang di temukan di sekitar pelabuhan. Mata uang itu, diyakini mata uang VOC karena berlambangkan atau bertuliskan VOC, Arab (ada tulisan Arabnya), Cina (bahasa Cina), dan India.
Dengan adanya mata uang itu, kemungkinan besar pelabuhan di Lamno ini dulu sangat ramai sebagai pusat perdagangan. "Makanya, saat ini selain ada keturunan Portugis, ada juga keturunan Arab maupun India di daerah Lamno ini," papar Yunus kepada "PR". Keturunan Arab juga dimungkinkan adalah yang menyebarkan Islam di daerah ini, termasuk keturunan Portugis juga beragama Islam.
Hanya, kejayaan Lamno mulai pudar, itu terjadi saat Raja Alaidin Riayah Syah II yang merupakan putra dari Raja Inayatsyah meninggal pada 1508. Setelah raja Alaidin ini meninggal, Kerajaan Lamno masuk menjadi bagian wilayah Kerajaan Aceh Darussalam. Hal itu terjadi karena Putri Alaidin yakni putri Hur (pewaris takhta) menikah dengan Raja Sultan Halim Murayat Syah (Raja Aceh Darussalam). Sejak itu, pelabuhan Lamno menjadi sepi, karena pusat perdaganan dialihkan oleh raja baru ke Sabang dan Banda Aceh.
Para pedagang dari Portugis maupun India saat itu juga tidak lagi masuk ke Lamno. Namun, orang Portugis yang sudah berkeluarga di daerah itu menetap untuk selamanya. Mereka bekerja sebagaimana warga setempat yaitu melaut dan bertani. Karena pelabuhan sepi, lambat laun usaha lada dan tembakau mulai ditinggalkan oleh warga setempat.
Alasannya, karena untuk menjualnya menjadi sulit dan harga murah. Nama Lamno sebagai penghasil lada dan tembakau pun sekaligus sebagai pusat perdagangan internasional akhirnya meredup dari tahun ke tahun. Bahkan, kini sangat jarang sekali tanaman lada atau usaha tembakau digeluti oleh warga daerah ini. Julukan kota perdagangan untuk Lamno pun akhirnya memudar.
Julukan kota perdagangan serta penghasil rempah-rempah boleh saja pudar. Tapi, satu julukan yang akhirnya tak pernah pudar untuk daerah Lamno adalah sebagai tempat lahirnya gadis si mata biru. Karena kecantikan gadis yang tetap bersinar dari abad ke abad, akhirnya membuat daerah Lamno masih terkenal di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), hingga sekarang. Menyebut nama Lamno, di Aceh sepertinya sudah identik dengan gadis keturunan Porto yang jelita.
Menurut Burhanudin (58), warga Lamno yang masih keturunan Portugis, kepada masalah kecantikan keturunan Portugis, sudah lama dikenal di Aceh. Bahkan, kalau ada perayaan Marhum Daya, banyak orang berdatangan ke Lamno. Perayaan pada hari Lebaran Iduladha itu dapat dipastikan gadis-gadis Porto yang ada di daerah Lamno kumpul. Baik yang ada di Lamno maupun di luar daerah ini. "Itu orang banyak memperhatikan kecantikan gadis-gadis Lamno yang keturunan Portugis," paparnya.
Burhanudin yang mengaku generasi kelima asal Porto, memaparkan, keluarga yang masih keturunan Portugis itu, sebagian besar tinggal di Kuala Daya dan Lamso. Diperkirakan jumlahnya kurang lebih 150 orang (sebelum tsunami). Keluarga asal darah Porto ini bekerja sebagai nelayan dan bertani sawah atau kebun, sebagaimana umumnya warga sekitar.
"Kehidupannya juga tidak jauh atau sama dengan warga sekitar. Ada yang istimewa dari keluarga keturunan Porto, seperti kami ini. Karena hanya fisik saja yang beda, lainnya mulai dari bahasa, budaya, dan pekerjaan sama saja," jelasnya.
Syukur, Masih Ada Penerus Gen Portugis
LALU bagaimana nasib keturunan Portugis di Lamno, setelah terjadi bencana tsunami menerjang daerah itu?
Daerah Lamno, yang berada di Aceh Jaya atau pesisir pantai barat Aceh, tidak luput juga dari gempa dan badai tsunami. Akibatnya, jalur darat antara Banda Aceh-Lamno sepanjang 81 km putus total, sehingga pada awal-awal terjadi gempa, daerah ini sempat terisolasi. Sebelum putus, Banda Aceh ke Lamno bisa ditempuh dua jam dengan kendaraan pribadi, menelusuri pinggir pantai. Sedangkan angkutan umum tarifnya Rp 15 ribu, dari Banda Aceh ke Lamno.
Pada Minggu (30/1), bersama Abang Aa, warga Banda Aceh, saya mencoba masuk ke Lamno menggunakan sepeda motor atau berusaha untuk menebus jalur darat. Dari Banda Aceh-lewat Lhoknga, lalu masuk ke Kec. Leupung. Untuk jalur Lhoknga-Leupung sudah bisa dilalui karena jembatan darurat yang dibangun Zeni TNI AD sudah beres.
Di Leupung, TNI AD juga membuat jalan sementara/darurat untuk mengganti jalan utama yang hancur. Sepanjang 15 km jalur di Leupung made in tentara ini harus dilalui dengan susah payah, karena jalannya masih labil, licin, dan bergelombang. Ketika akan masuk Lhok Seudu-Pulut, terpaksa sepeda motor diangkut dengan rakit karena jembatan yang menghubungkan dua daerah itu belum selesai dibangun oleh TNI AD.
Sebenarnya setelah masuk Pulut hanya tinggal menembus dua daerah lagi agar bisa masuk ke Lamno, yaitu Layeun dan Lung atau kurang lebih 40 km. Namun perjalanan selanjutnya mesti melewati bukit dengan jalan darurat buatan masyarakat. Lebar jalannya hanya satu meter. Jalur ini banyak dihuni tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Karena itu, atas pertimbangan warga setempat, kami putuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan.
Saat itu juga kami balik lagi ke Banda Aceh. Harapan untuk bisa ke Lamno pun buyar. Cara yang memungkinkan untuk ke Lamno adalah menggunakan speed boat atau heli. Namun untuk naik speed boat, ongkos carternya mahal hingga Rp 700 ribu/hari. Padahal kalau menggunakannya mesti menempuh waktu dua hari. Berangkat pagi dengan menempuh perjalanan lima hingga enam jam. Perahu baru bisa balik lagi besok harinya waktu pagi hari. "Siang tidak berani, karena angin kencang sangat bahaya," kata Bukhori, pemilik speed boat.
Setelah dipertimbangkan, untuk menggunakan perahu adalah alternatif terakhir. Karena ada cara yang belum dicoba yaitu heli dari Lapangan Udara Iskandar Muda, Banda Aceh. Hari Senin (31/1) pagi hari, akhirnya saya berangkat ke bandara karena ada informasi WFP (World Food Program) akan berangkat ke Lamno dengan menggunakan heli. Mereka membawa wartawan asing untuk meninjau Lamno. Begitu di Lanud Iskadar Muda, saya berusaha menghubungi pihak WFP Chesy yang mengatur perjalanan ke Lamno.
Kepada WFP, saya berusaha meminta tolong untuk ikut ke Lamno. Hanya, mereka secara halus menolak. Alasannya, wartawan asing yang ikut sudah daftar sehari sebelumnya. Lalu kapasitas tempat duduk heli juga terbatas.
Jawaban WFP tidak membuat saya patah arang. Di hadapan dia, saya mengangguk seolah bisa menerima penjelasannya. Namun saat heli itu dihidupkan untuk berangkat ke Lamno, saya segera lari masuk ke dalam heli. Waktu itu pihak yang mengurus keberangkatan ke Lamno masih berada di tendanya sehingga tak melihat saya masuk ke heli. Tak lama kemudian sejumlah wartawan asing masuk ke heli dengan mengambil tempat duduk.
Agar di pesawat tidak langsung kelihatan oleh pihak yang mengurus keberangkatan ke Lamno, saya duduk di kursi ujung belakang. Beberapa detik saat pesawat akan mengudara, Chesy masuk ke dalam pesawat dan langsung duduk belakang pilot dekat pintu pesawat.
Sesaat sudah di udara untuk menuju perjalanan ke Lamno, akhirnya dia melihat saya. Saat itu akhirnya kami saling bersitatap. Saya segera melambaikan tangan kanan. Orang WFP ini membalasnya, sambil tersenyum, entah kesal atau bisa menerimanya.
Pesawat heli inilah yang akhirnya sampai ke Lamno. Dari udara terlihat jelas, bahwa kota itu telah hancur. Hanya beberapa desa yang kelihatan masih utuh, yaitu di pusat kotanya. Turun dari pesawat, langsung menuju ke arah pengungsian untuk mencari jejak si "mata biru". Sedangkan rombongan wartawan asing, berkunjung bersama dari WFP juga ke pengungsian, namun lokasinya berbeda.
Sempat beberapa kali menanyakan tentang keberadaan si bule kepada warga sekitar. Jawabannya beragam. Ada yang mengatakan bahwa daerah yang selama ini dihuni mereka, yaitu Kuala Daya dan Lamso sudah rata dengan tanah karena lokasinya dekat dengan pantai. Akan sulit untuk bisa menemukan orang-orang keturunan Portugis itu. Kuala Daya dan Lamso adalah desa yang paling hancur. "Kemungkinan besar keturunan Portugis sudah banyak yang meninggal," kata Sulaeman, penduduk Lamno.
Berkat informasi seorang guru sekolah dasar, akhirnya saya bisa menemukan beberapa orang bule di daerah pengungsian. Di belakang pasar Lamno, ada keturunan Portugis yang memang namanya adalah Bule (80). Sebelum tsunami, dia tinggal di Kuala Daya. Ketika ditemui, ternyata wajah ibu dua anak ini mirip dengan orang bule. Hidungnya mancung, kulit putih, dan badannya tinggi kira-kira lebih 170 cm.
Menurut Bule, keturunan Portugis di Kuala Daya sebagian besar telah meninggal disapu tsunami. Ia juga sempat digulung ombak, tapi akhirnya selamat. Ia sendiri tidak bisa memastikan, berapa orang lagi keturunan langsung dari darah Portugis yang kini masih tersisa. "Saya tidak bisa menyebut jumlahnya, tapi jelas sangat sedikit," katanya.
Di pengungsian itu, saya juga bertemu dengan keturunan Portugis lainnya seperti dua gadis bernama Dahlia (26) dan Marlina (20). Satunya lagi ibu beranak satu bernama Maulizar (27). Di SMU Lamno, juga ada tiga orang gadis yang keturunan Portugis, di antaranya Tina. Menurut Marlina, gadis-gadis keturunan Portugis yang ada saat ini kira-kira di bawah sepuluh orang karena sudah banyak yang menjadi korban tsunami.
Di antara para pengungsi, keberadaan gadis ini memang terlihat lain yaitu tetap cantik. Namun sifatnya pemalu. Mereka jarang berkomunikasi dengan orang luar, kecuali yang dikenalnya. Menurut Tina, dia sebenarnya sama dengan warga Aceh atau Lamno lainnya. Kalaupun ciri fisik yang berbeda, itu karena ibu dan bapaknya adalah keturunan Portugis. Kadang ia sendiri merasa malu, karena ciri fisik yang berbeda. Namun ia tidak tahu, siapa nenek moyangnya yang asal Portugis itu. "Kita yang seperti orang barat ini karena ada keturunan asing. Ayah saya saja tidak tahu siapa orang Portugis yang datang ke Lamno ini," jelasnya.
Dalam keseharian, kata Dahlia, tak ada perbedaan antara mereka yang keturunan Portugis dengan lainnya. Baik di sekolah maupun di pergaulan sehari-hari, tetap tampil seperti biasa tanpa mendapat perlakuan khusus. Bahkan, sebelumnya di antara mereka tidak mengetahui kalau mereka keturunan Portugis.
Nenek Bule juga mengemukakan hal sama. Dalam kehidupan sehari-hari, antara dirinya dengan warga Lamno lainnya tidak ada yang berbeda. Mata pencaharian juga sama yaitu nelayan atau bertani. Seperti di Kuala Daya, keluarga keturunan Portugis seperti Sehrani pekerjaannya nelayan. Keluarga Agam Lambeso, juga nelayan. Teungku M. Amin adalah seorang nelayan dan Basyah Peti adalah petani. Anggota keluarga mereka banyak juga yang hilang akibat tsunami.
Selama ini, kata Marlina, tidak ada gadis keturunan Lamno Portugis yang menjadi artis. Biasanya mereka menikah dengan warga setempat. Jika suaminya sama berasal dari keturunan Portugis, biasanya ciri Portugis pada anak-anak mereka tampak kuat. Anak mereka benar-benar seperti bule, berhidung mancung, bermata biru, dan kulit putih.
Sebaliknya, kalau perempuannya yang keturunan Portugis menikah dengan laki-laki asli setempat, ciri fisik seperti orang Eropa mulai pudar. Bola matanya, juga jadi kecokelat-cokelatan, tidak biru lagi. Namun biasanya hidungnya mancung, dan warna kulitnya menjadi sawo matang.
Kini gadis-gadis cantik keturunan Portugis yang ada di pengungsian, yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, sepertinya akan tetap menjadi penerus jejak Portugis yang pernah masuk ke Lamno. Di antara mereka ada yang bercita-cita jadi perawat, dan juga menjadi ibu rumah tangga yang baik. Tapi, yang jelas mereka sendiri bingung dengan masa depannya karena orang tua atau keluarga mereka telah tiada.
Termasuk untuk pulang pun bingung karena rumahnya sudah rata dengan tanah. "Sekarang bersabar dan berdoa. Semoga Allah menunjukkan jalan yang baik bagi kami yang selamat," kata Maulizar. Tentu semua berharap ”mutiara Lamno” itu harus tetap tegar untuk menjalani kehidupan yang akan datang. Agar Lamno kembali bersinar. (Undang Sudrajat/"Pikiran Rakyat")
Artikel Kompas Sabtu, 6 Oktober 2001 tentang keberadaan warga Lamno yang bermata biru dan berkulit putih.
ACEH di ujung utara Pulau Sumatera identik dengan Aceh sebagai Serambi Mekah. Wilayah itu merupakan tanah bekas kerajaan-kerajaan Islam yang kuat dengan perdagangan yang maju serta angkatan perangnya yang jaya pada abad-abad ke-8 sampai ke-19. Daerah ini juga dikaruniai Tuhan dengan kekayaan dan keindahan alam serta budayanya yang maju. Profil dan letak geografis daerahnya menguntungkan karena terapit di antara Samudera Indonesia dan Selat Sumatera sehingga menjadikan pantainya seperti untaian zamrud.
Keindahan alamnya yang mempesona hampir dijumpai di setiap jengkal tanah, gunung, dan pantainya. Aceh sebagaimana daerah lainnya, sudah sejak lama dikenal sebagai daerah tujuan wisata (DTW) karena menyimpan banyak kekayaan budaya dan keindahan alamnya yang belum banyak tersingkap atau diketahui umum.
Misalnya, potensi wisata yang masih terpendam ini terletak di kawasan sepanjang 600 km bagian pantai barat Aceh. Mulai dari atas Geureutee (daerah pegunungan) pantai barat ini sampai ke bawah yang atau dari Desa Daya/Unga sampai Kuala Dhou Legeun (sekitar 85 km dari Banda Aceh arah ke Meulaboh), sekarang dikenal sebagai Kecamatan Lamno. Terhampar pantai berpasir putih yang indah berkilauan dan di kaki Geureutee ini, terdapat sebuah kawasan indah bekas Kerajaan Islam Daya, yang pernah jaya dan kuat.
Yang menarik sekarang dibekas Kerajaan Daya ini terdapat beberapa desa dengan penduduk bermata biru, berkulit putih, berambut pirang dengan tubuh profil Eropa. Mereka adalah warga asli Lamno yang menurut sejarah adalah turunan Portugis. Sebuah kapal perang Portugis yang kalah perang dengan Belanda di Melaka/Singapura. Dalam perjalannya dari Singapura ke negaranya mengalami kerusakan dan terdampar di daratan Kerajaan Daya, pada abad ke-15.
Raja Daya tidak membiarkan begitu saja kapal perang Portugis yang lari dari Perang Malaka dan Singapura itu bersembunyi di daratan Daya. Tentara Daya menembaki kapal itu dengan meriam-meriam besar hingga kapalnya tenggelam. Semua awak kapal dan tentara Portugis menyerah dan minta perlindungan dari Raja Daya, sambil menunggu datangnya kapal Portugis datang menjemput mereka.
Seluruh awak dan tentara Angkatan Laut Portugis tersebut kemudian ditawan oleh Raja Daya dan dikurung dalam suatu kawasan yang berpagar tinggi. Mereka menunggu bantuan, tetapi komunikasi sulit dan bantuan tak pernah datang. Akhirnya mereka menyerah kepada Raja Daya dan menyatakan masuk agama Islam. Setelah itu mereka pun dibebaskan dari tempat tawanannya. Mereka kemudian diajar bertani, diajar bahasa, adat istiadat dan kebudayaan Aceh, dan belajar menjadi orang Aceh. Dan jadilah mereka penduduk Aceh hingga sekarang.
Kalau melihat warga Lamno yang bermata biru atau coklat dan berprofil Eropa ini, tak salah kalau pakar sejarah Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) Muhammad Gade, mengatakan ejaan lama kata "ATJEH" mempunyai makna, Arab (A), Tjina (Tj), Eropa (E), dan Hindustan/India (H). Maka orang Aceh yang sekarang, sebagian besar adalah keturunan Arab, Cina, Eropa, dan Hindustan.
Kerajaan Islam pertama adalah Pasai (Pase) berdiri pada abad ke- 9. Pase yang sekarang tepatnya berada di kawasan pantai Samudera Gedong, sekitar 25 km dari Lhok Seumawe arah ke Medan. Di sini masih dapat disaksikan bekas-bekas bandar besar dan sebuah kompleks makam besar keluarga Sultan Pase (Sultan Malikussaleh). Tanah sekitar Bandar Pase ini hingga sekarang banyak mengandung pecahan keramik kuno Cina yang diperkirakan dibawa oleh kapal-kapal Cina yang kemudian juga terlibat perang dengan Kerajaan Pase.
Kerajaan Pase, Daya dan Pedir (Pidie), dan Lamuri kemudian bersatu menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1513 di bawah Raja Ali Mughayat Syah dari Kerajaan Lamuri. Ketika Kerajaan Pase diperintah Sultan Zainal Abidin (tahun 1511), tentara Portugal sebelum berperang melawan Kerajaan Melaka, sempat menyerang Kerajaan Pase.
Menurut Ali Akbar, Ketua Lembaga Adat dan Kebudayaan Aceh (LAKA) Cabang Kabupaten Aceh Utara, semua peristiwa itu masih dapat dibaca tertulis dalam aksara Babilonia, Arab, dan Turki kuno pada beberapa batu nisan besar Kompleks Makam Sultan Malikussaleh, Raja Pasai (Pase).
***
TIDAK heran kalau orang yang pernah datang ke kawasan Daya Lamno ini akan bertemu dengan banyak sekali wajah-wajah cantik pria dan wanitanya. Mereka bermata biru atau coklat, berkulit putih, berambut pirang, hidung mancung dengan profil jangkung tubuh Eropa. Membuat mereka berbeda dengan orang Aceh lainnya.
Perbedaan menyolok ini membuat warga turunan Portugis di Lamno Aceh Barat, terutama wanitanya menjadi pemalu. Padahal mereka adalah orang Aceh juga, menggunakan bahasa Aceh yang pasih, dan juga pemeluk Islam yang taat beribadat. Namun, mereka bukanlah warga yang sombong, sikap malu hanya muncul jika mereka didatangi oleh orang asing yang belum mereka kenal saja.
Oleh karena itu, adalah sulit sekali mengajak mereka berbicara, kalau tidak didampingi oleh salah seorang tokoh desanya. Jarang sekali bisa mendapat kesempatan untuk memotret wajah-wajah gadis Lamno yang cantik itu. Mereka selalu lari menghindar jika ada yang hendak mengambil foto dirinya.
Menurut cerita begitu pemalunya warga Lamno bermata biru turunan Portugis ini hingga mereka hanya bergaul dalam kelompok mereka atau dengan orang desa yang mereka kenal saja. Perkawinan pun hanya terjadi sesama turunan Portugis. Tetapi, belakangan ini karakter malu itu mulai berobah karena akhirnya mereka menyadari bahwa mereka adalah orang Aceh juga.
Hingga ada juga satu atau dua gadisnya yang mau menikah dengan warga Lamno lainnya, dan bahkan banyak juga yang berhasil diboyong orang Aceh lainnya. Memang hingga sekarang sulit sekali mempersunting gadis Lamno ini dan mereka memang wanita-wanita berwajah cantik yang taat sekali beribadat, dan kebanyakan mereka belajar di sekolah-sekolah Agama Islam atau Pesantren dan kemudian melanjutkan kuliahnya ke Institut Agama Islam Negeri (IAIN) di Banda Aceh.
Adat istiadat warga Lamno bermata biru ini tak berbeda dengan adat istiadat dan kebudayaan masyarakat pada umumnya. Bahasa Aceh mereka, logat, maupun aksen, serta pengucapannya sama dengan bahasa Aceh biasa dan berlogat Aceh Barat. Menu makanan, dan makanan khasnya adalah makanan khas Aceh, seperti kari, dan masakan Aceh lainnya. Dan nasi merupakan makanan utamanya.
Seorang pemilik rumah penginapan di Lamno menceritakan pada hari-hari pasar mingguan, wanita dan pria bermata biru ini datang ke Pasar Lamno untuk belanja. "Kalau mau melihat mereka, saat itulah," kata pemilik Losmen Lamno. Tapi jarang yang mau difoto. Maka untuk mendekati pria atau gadis Lamno bermata biru sebaiknya melalui kepala desa atau tokoh-tokoh Desa Daya yang biasanya lebih terbuka dengan masyarakat luar.
Di Desa Daya juga terdapat sebuah bukit kompleks Makam Marhum Daya. Di batu-batu Nisannya terdapat catatan-catatan sejarah yang tertulis dalam aksara Babilonia dan Arab. Kompleks Makam Marhum Daya ini terpelihara dengan baik dan selalu ada yang berziarah dan membaca ayat-ayat suci Al Quran. Juga banyak yang datang karena tertarik pada sejarah kebesaran Kerajaan Daya.
***
ADA tradisi yang cukup menarik dalam masyarakat Daya yang juga diikuti oleh warganya yang bermata biru, yaitu perayaan adat Seumeulueng (suguhan makanan) untuk raja dan juga semua rakyat Daya. Perayaan Seumeulueng ini berlangsung pada setiap Hari Raya kedua Idul Adha.
Pada hari tersebut, seluruh rakyat Daya dengan dikawal oleh 17 pengawal yang berpakaian unik yakni, jubah hitam dengan kepala dan wajah tertutup oleh kerudung hitam sampai ke dada bagian atas, hanya berlubang pada bagian mata untuk melihat. Jubah itu bergaris-garis merah, dan pasukan pengawal kerajaan itu semuanya mengenakan pedang.
Rakyat yang berjalan dibelakangnya membawa hidangan makanan untuk raja. Tempat upacaranya berada di atas sebuah bukit tak jauh dari kompleks Makam Marhum Daya. Karena Raja Daya tidak ada lagi, maka yang menerima hidangan itu adalah salah seorang dari tokoh masyarakat Daya atau bisa juga salah seorang pejabat Kabupaten Aceh Barat yang dihormati rakyatnya.
Hari itu semua warga Daya keluar dari rumahnya dan mereka mengenakan pakaian yang baru yang indah-indah sebagai tanda ikut merayakan hari Seumeulueng. Upacara ini selalu ramai karena masyarakat Lamno, Meulaboh, ibu kota Aceh Barat, dan juga dari Banda Aceh, datang untuk menyaksikan acara langka dan unik itu.
Semua kegiatan adat Seumeulueng itu jika dikemas dalam satu paket wisata, ditambah dengan situs Kerajaan Daya yang masih tersisa, termasuk Kompleks Makam Marhum Daya yang penuh relief beraksara Babylonia, Turki, dan Arab kuno, akan menjadi daya tarik tersendiri.
Menurut Kepala Dinas Pariwisata Aceh Ramli Dahlan, setiap tahun ada turis dari Eropa, di antaranya banyak dari Portugal yang datang ke Lamno sebagai turis. Mereka datang ke bekas Kerajaan Daya itu untuk menyaksikan orang-orang Aceh bermata biru di sana. Di antaranya terdapat peneliti sejarah yang telah mendapat izin dari Pemda Aceh untuk mengadakan penelitian.
Pemda Aceh Barat memang berupaya menghidupkan daerah Lamno sampai Lageun menjadi daerah tujuan wisata (DTW) Aceh Barat. Di Lageun bahkan telah dibangun rumah-rumah panggung bergaya Aceh untuk disewakan kepada wisatawan mancanegara. Selain rumah-rumah panggung yang dilengkapi dengan ruang tidur, ruang tamu, dan dapur, juga di kompleks pantai Lageun itu telah dibangun sebuah restoran besar bergaya Aceh. Pemda Aceh Barat juga berniat mencari investor membangun sebuah hotel berbintang di kawasan pantai antara Kuala Daya sampai Lageun.
Menurut catatan sejarah yang ada di Pusat Dokumentasi Induk Aceh (PDIA), Marco Polo dalam petualangan pelayaran keliling dunianya tahun 1292-1295 pernah singgah di Kerajaan Daya. Marco Polo kemudian menuliskan kebesaran Kerajaan Daya itu dalam bukunya Far East yang menceritakan tentang kebudayaan bangsa Indo Cina, Lamno Aceh, dan orang-orang Banda Maluku Tengah.
kutipan dari berbagai sumber
Posting Komentar